Senin, 15 Juni 2009

AL-SYĀTIBĪ DAN METODE IJTIHADNYA




(Sorotan Terhadap Kitāb Al-Muwāfaqāt)



I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang memiliki aspek akidah dan syariat. Istilah syariat pada mulanya mempunyai arti luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan segala yang diperintahkan Allah. Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyariatkan oleh Allah swt untuk mengatur manusia dalam hal tata kehidupan mereka di dunia ini, baik masalah-masalah keagamaan maupun masalah kemasyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamanan serta kebahagiaan dalam hidupnya. Fungsi hukum tersebut secara tegas telah dinyatakan dalam QS. al-Nisā’ (4): 105 ;

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Terjemahnya :

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan mem-bawa kebenaran, supaya kamu menetapkan hukum di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,’[1]

Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran-ajaran Islam, karena semua manusia selain hidup di dunia juga akan mengalami kehidupan di akhirat yang kebahagiaan dan kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari perbuatan-perbuatannya di dunia. Sementara ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala tersebut.

Warisan Islam yang bisa dipelajari untuk dikembangkan dan dijadikan acuan bagi umatnya kini ada dua, yaitu ajaran yang tertuang dalam Alquran dan Sunnah Nabi saw. Kajian terhadap ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah, erat kaitannya dengan sejarah yang selanjutnya akan melahirkan rangkaian pemikiran teoritis. Dikatakan demikian, karena telaah terhadap sejarah akan memperkaya informasi faktual tentang dinamika masyarakat di masa lalu, sehingga lebih bijaksana dalam perumusan teoritis yang akan dikembangkan dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh sebab itu, kajian terhadap ajaran Islam (Alquran dan Hadis) harus diimbangi kajian sejarah, terutama sejarah para mujtahidīn dengan cara menelusuri metode-metode ijtihadnya yang termakub dalam karya-karya mereka.

Salah satu mujtahid yang turut meramaikan dunia fikih adalah al-Syātibī (w. 790 H). Seperti pada umumnya mujtahid, al-Syātibī telah meninggalkan sejumlah karya monomental yang di dalamnya tertuang konsepnya tentang masalah-masalah ijtihad. Menurut Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA bahwa di antara sekian banyak karya tulis al-Syātibī, hanya al-Muwāfakāt dan al-I’tisām yang sempat terbitkan,[2] sedang yang lainnya hanya disebut dalam beberapa catatan sejarah.[3] Berdasarkan data ini, maka dapat dipahami bahwa al-Syātībi sebenarnya termasuk ulama yang produktif dalam menulis karya ilmiah, namun sebagian karya-karyanya tidak sempat beredar di masyarakat luas.

Lain halnya dengan kitab al-Muwāfakāt, nampaknya karya ini sampai saat sekarang masih beredar luas di kalangan masyarakat. Bahkan, penulis menemukan data yang akurat bahwa al-Muwafāqāt tersebut telah mengalami beberapa kali penerbitan. Di sisi lain, Syaikh Muhammad Abdullah Darrās juga telah mensyarah karya ini, sehingga untuk menyoroti Muwāfakāt ke-lihatannya tidak terlalu pelik.

B. Rumusan Masalah

Dengan merujuk pada uraian-uraian latar belakang yang telah di-paparkan, maka permasalahan pokok yang menarik untuk dijadikan obyek pembahasan adalah bagaimana metode ijtihad al-Syātibī dalam karyanya al-Muwāfakāt ?

Agar kajian dapat terarah dan tersistematis, maka permasalahan pokok yang telah ditetapkan dirinci dalam dua masalah yakni :

1. Bagaimana sīrah kehidupan al-Syātibī ?

2. Bagaimana metode ijtihadnya dalam kitab al-Muwāfakāt ?

Kajian ini, diberi sub judul “sorotan terhadap kitab al-Muwāfakāt” maksudnya ; membedah metode ijtihad al-Syātibī dalam karyanya al-Muwāfaqāt, dengan cara memberi sinar dan atau keterangan yang jelas. Berdasar pada judul ini dan kaitannya dengan permasalahan yang tetapkan, maka tujuan yang ingin dicapai melalui pembahasan ini adalah menelusuri profil al-Syātibī, dan mengungkap metode ijtihad yang digunakannya.

II. SĪRAH SINGKAT KEHIDUPAN AL-SYĀTIBIY

Nama lengkap al-Syātibī adalah Abū Ishāq Ibrāhim Ibn Mūsa al-Gharnatiy. Ia berasal dari keluarga Arab, suku Lakhmi, sedangkan nama yang menjadi sebutannya yang masyhur itu, yakni al-Syātibī diambil dari nama negeri asal keluarganya, Syatībah (Xariva atau Jativa).[4] Meskipun dinisbahkan kepada negeri itu, diduga keras ia tidak lahir di sana, oleh karena menurut, kota Jativa telah jatuh ke tangan Kristen, dan segenap umat Islam telah diusir dari sana sejak tahun 1247 (645 H), atau hampir satu abad sebelum kehidupan al-Syātibī. Keluarga al-Syātibī mungkin saja meninggal-kan negeri itu ketika terjadi pengusiran dan kemudian menetap di Granada.

Tanggal kelahiran al-Syātibī juga belum diketahui secara pasti, namun pada umumnya orang hanya menyebut tahun kematiannya yakni tahun 1388 (790 H). Meskipun demikian, Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA menyata-kan bahwa al-Syātibī lahir dan menempuh masa hidupnya di Granada dalam masa kekuasaan Yūsuf Abū al-Hajjāj (1333-1354 M) dan Sultan Muhammad V (1354-1359), dan 1362-1391 M).[5] Dugaan ini, kelihatannya berdasar pada perhitungan perbandingan antara tahun kewafatan al-Syātibī dengan periode kekuasaan dua sultan Granada tersebut, yang ketika itu Granada merupakan kota pendidikan.

Al-Syātibī pertama-tama belajar bahasa Arab yang diperolehnya dari Ibn al-Fakhkhār al-Ilbirīy (w. 754 H) dan Abū al-Qāsim al-Saurīf al-Sabtīy (w. 760 H). Adapun pengetahuan Ushūl al-Fiqh-nya, ia peroleh dari Imām al-Maqqāri’ yang datang ke kota Granada di tahun 757 H. Filsafat dan Ilmu Kalām dipelajarinya dari Abū al-‘Aliy al-Mansūr (w. 770 H) yang juga pernah berkunjung ke Granada di tahun 753 H), dan mendapat penghargaan dari Wazīr Granada, Ibn al-Khātib, meskipun pada akhirnya diusir pada tahun 765 H. Pelajaran yang sama, juga diperolehnya dari al-sayrīf al-Tilimsāni (w. 771 H).[6] Dari dua gurunya yang disebutkan terakhir ini, al-Syātibī dapat dipastikan memperoleh pengetahuan tentang pemikiran Mu’tazilah dan pemikiran rasional lainnya.

Al-Syātibī banyak mengenal buku-buku Mu’tazilah lewat Abū al-‘Āliy al-Mansūr, seperti Kitāb al-Dalāil dalam ilmu kalam dan al-Mu’tamad dalam ushul fikih. Keduanya ditulis oleh Abū al-Husayn al-Basriy. Ia juga mempelajari Kitāb al-tafsīr karya al-Qādhi ‘Abd. al-Jabbār dan Tafsīr al-Kasysyāf karya al-Zamakhsyāriy.[7] Di samping itu, al-Syātibī juga banyak mempelajari ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu keislaman lainnya, terutama ilmu fikih (ushul Fikih) dari guru-guru yang terkenal. Ini merupakan indikasi bahwa al-Syātibī memiliki kedalaman pengetahuan dan keluasan pemikiran, sehingga menyebabkan dirinya tampil sebagai mujtahid.

Dengan kedalaman pengetahuan dan keluasan pemikirannya, maka al-Syātibī, melahirkan berbagai karya tulis, sebagaimana yang telah disebut-kan (lihat pendahuluan makalah ini), dan antara lain karyanya terkenal adalah al-Muwāfaqāt yang di dalamnya banyak mengupas masalah fikih.

III. PENERAPAN IJTIHAD AL-SYĀTIBĪ DALAM AL-MUWĀFAQĀT

A. al-Muwāfaqāt dan Sumber Ijtihad al-Syātibī

Kitab al-Muwāfaqāt berjudul lengkap الموافقات فى أصول الشريعة . Penulis tidak menemukan keterangan secara rinci mengenai latar belakang al-Syātibī menamakan karyanya dengan judul tersebut, namun dari segi maknanya al-Muwāfaqāt yang berakar kata dari waffaqa, yuwaffiqu, muwāfiqu dapat mengandung beberapa arti, yakni ; kemufakatan, ke-sepakatan, dan atau persetujuan bersama berdasarkan hasil pemikiran.[8] Sedangkan, kata “فى أصول الشريعة” sebagai sub (lanjutan) judul yang diarti-kan sebagai “asas syariat”, mengandung makna “dasar-dasar hukum atau fikih Islam”.[9] Dengan batasan pengertian-pengertian ini, mengindikasikan bahwa al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Syarī’ah dapat diterminologikan sebagai kitab yang di dalamnya berisi pendapat-pendapat berdasarkan hasil ijtihad, kemudian dapat dijadikan sebagai pegangan dasar dalam mengamalkan ajaran Islam.

Kitab al-Muwāfaqāt terdiri atas empat jilid, dan dengan melihat susunan daftar isinya (فهرس الكتاب) akan melahirkan persepsi bahwa pem-bahasannya mencakup tentang kaidah-kaidah ushul fikih dan hukum-hukum Islam, serta yang paling banyak dibicarakan adalah tentang maslahāh (kemaslahatan) hidup.

Dalam muqaddimah kitab a-Muwāfakāt, oleh pensyarahnya (Syaikh ‘Abdullah Darrās) menjelaskan secara komprehensif landasan al-Syātibī dalam melakukan ijtihad. Menurutnya, Alquran adalah pedoman syariat dan sebagai dasar agama. Hadispun memiliki posisi yang sama dan ia berfungsi untuk menjelaskan kandungan Alquran yang bersifat global, menjelaskan hal-hal yang pelik, mengembangkan muatannya yang ringkas. Kesemuanya ini, bertujuan demi dan untuk mengungkap hukum-hukum yang syariat. Jadi, upaya yang dilakukan adalah menjadi Alquran dan hadis sebagai patron utama. Namun sekiranya pada keduanya tidak ditemukan nash yang qat’iy, maka upaya yang dilakukan adalah merujuk pada al-ijmā’ dan al-qiyās.[10] Dari sini dapat diketahui bahwa sumber utama al-Syātibī, terutama dalam melakukan ijtihad adalah terstuktur mulai dari Alquran, al-Sunnah (hadis), ijmā’ dan qiyas.

1. Alquran dan al-Sunnah

Alquran dan al-Sunnah, keduanya menggunakan bahasa Arab, maka untuk memahaminya dan dalam upaya mengeluarkan hukum-hukum syariat daripadanya diperlukan penguasaan bahasa Arab.[11] Jadi, ke-lihatannya al-Syātibī mempersyaratkan bahasa Arab sebagai sesuatu hal yang utama dan sebagai rukun yang penting untuk menelorkan ijtihad.

Menurut al-Syātibī, Alquran tersebut terpelihara keorisinilannya berdasarkan QS. al-Hijr: 9. Seluruh nash-nashnya terpelihara dan cakupan-nya sudah lengkap berdasarkan QS. al-Māidah: 3.[12] Dengan argumen sesingkat ini, al-Syātibī menjadikan Alquran sebagai perioritas utama. Selanjutnya, kedudukan hadis bagi beliau berada pada urutan kedua, setelah Alquran.[13]

Dipahami bahwa Alquran dan al-Sunnah harus terpakai secara bersama-sama. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam mengambil suatu dalil. Walaupun dari keduanya terdapat perbedaan mendasar, yakni bahwa yang pertama adalah keseluruhannya terjamin otenstitasnya ketimbang yang kedua, namun yang kedua ini (al-Sunnah) dapat saja mengandung hukum yang qat’ī oleh karena ia berkualitas shahīh.[14] al-Sunnah atau al-Hadīś yang sampai pada derajat shahīh inilah yang terpakai, dan dijadikan sebagai hujjah.

Keterkaitan antara Alquran dan al-Sunnah yang sebagaimana yang diapaparkan di atas, mengindikasikan bahwa keduanya sebagai pijakan utama dalam melakukan ijtihad. Alquran yang dalam sederatan ayatnya bersifat mujmal, maka al-Sunnah datang dengan fungsinya untuk merinci ayat-ayat yang mujmal tersebut. Karena itu, dalam pandangan al-Syātibī bahwa al-Sunnah di sini mampu mendeduksi Alquran, walaupun pada pada hal-hal tertentu tidak semua al-Sunnah dalam artian hadis memiliki fungsi demikian, karena banyak pula ayat Alquran yang sudah jelas kandungan hukumnya walaupun tanpa ada hadis yang menerangkan “duduk masalah” hukum tersebut.

2. al-Ijmā’ dan al-Qiyās

Para ulama, berbeda pendapat tentang kedudukan ijmā’ dan qiyās. Mereka menganggap kedua sumber hukum ini dalil naqli, sehingga kedudukannya pun bukan qat’ī.

Berbeda dengan pendapat ulama dan pernyataan di atas, bagi al-Syātibī sendiri menganggap bahwa seseorang yang berpegang pada dalil ijma adalah suatu kewajiban karena termasuk qat’ī. Karena demikian halnya, maka hasil ijma adalah hujjah. Demikian pula qiyas, ia termasuk hujjah karena dalil-dalinya bersumber dari Alquran.[15] Walaupun demikian, kedua sumber hukum ini menurut al-Syātibī menjadi perioritas ketiga dan keempat setelah Alquran dan Hadis.

Lebih lanjut al-Syātibī menyatakan dalam menetapkan hukum dan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara manusia dengan apa yang telah diperlihatkan oleh Allah. setiap kasus yang muncul sebaiknya dicari kesamaan illatnya dengan apa yang ada pada Alquran maupun sunnah. Apa yang yang bersumber dari Nabi saw, adalah seuatu yang diwajibkan untuk diikuti. Kemudian ijma adalah suatu tindakan yang dilakukan bila ada masalah, maka segenap kaum mu’min perlu mengadakan ijma, sebagai sabil (jalan) yang akurat.[16]

Keterangan lain yang ditunjuk oleh al-Syātibī mengenai kedudukan ijma dan qiyas tersebut, adalah berdasar pada firman-Nya dalam QS. al-Nisā (4): 59 yakni ;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Terjemahnya :

Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Term “أَطِيعُوا اللَّهَ” dalam ayat di atas menurut al-Syātibī sebagaimana yang dikutip oleh Kamali adalah mengandung perintah untuk merujuk kepada Alquran, sebagai sumber pertama. Selanjutnya, “وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ” menunjuk kepada al-Sunnah (al-Hadīś). Sedangkan “وَأُولِي الْأَمْرِ” berarti memberi kewenangan kepada konsenus ulama yang diistilahkannya dengan al-ijmā’. Yang terakhir adalah “فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ” mengindikasikan keabsahan al-qiyās sebagai sumber hukum, dan kedua sumber yang disebut terakhir ini tergolong sebagai ijtihad yang dapat dijadikan hujjah.[17] Kaitannya dengan pendapat al-Syātibī tentang keabsahan qiyās sebagai sumber hukum dan ia digolongkan sebagai ijtihad, kelihatannya sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Abū Zahra yakni “الإجتهاد القياس” yaitu menganalogikan hukum yang disebut dalam nash kepada masalah baru yang belum ada hukumnya, karena adanya persamaan illat.[18]

Kembali kepada term-term, frase dan klausa yang terdapat dalam ayat yang telah dikutip di atas (QS. al-Nisa/4: 59), dapat dipastikan bahwa al-Syātibī menjadikan ayat tersebut untuk melegalisaikan empat sumber hukum dalam Islam, yakni Alquran, al-sunnah, al-ijmā’ dan al-qiyās. Sumber hukum yang pertama dan kedua, secara implisit adalah dalil naqli. Sumber ketiga dan keempat bagi beliau, secara eksplisit, juga termasuk dalil naqli.

Sekiranya metode ijtihad dalam pandangan Prof. Dr. H. Minhajuddin, MA yakni cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan ijtihad guna menghasilkan hukum syara’ yang benar,[19] maka metode ijtihad dalam pengertian seperti inilah yang digunakan al-Syātibī, yakni cara kerja yang bersistem mulai dari Alquran sebagai sumber utama dan pertama dalam menyelesaikan masalah. Sekiranya, pada sumber pertama ini tidak ditemukan dalil yang qat’ī, maka sumber berikutnya yang dijadikan pijakan dalam berijtihad adalah al-Sunnah. Demikian seterusnya, sampai masuk pada wilayah al-ijmā’ dan al-qiyās.

B. Metode Ijtihād al-Syātibī dalam al-Muwāfaqāt

Al-Syātibī membagi ijtihad itu kepada dua, yaitu ijtihad yang berlangsung sampai hari kiamat, karena berkaitan dengan tahqīq al-manāt, dan ijtihad yang obyeknya dapat saja berhenti sebelum hari kiamat, karena hal tersebut berkaitan dengan tanqīh al-manāt dan tahrīj al-manāt.[20] Tahqīq al-manāt adalah pandangan/pikiran untuk mengetahui adalah illat dalam bagian-bagian bentuk cabang yang diinginkan qiyasnya terhadap suatu asal. Sedangkan tanqīh al-manāt adalah pikiran untuk menetapkan illat yang tetap dengan nash atau ijma’. Adapaun tahrīj al-manāt adalah pandangan dan ijtihad dalam mengistimbatkan sifat yang menjadi sebab terhadap hukum yang telah ditunjukkan oleh nash atau ijmā.

Pembagian dan penjelasan tentang ijtihad yang dikemukakan al-Syātibī di atas, kelihatannya masih berkisar pada masalah ijma dan qiyas. Dengan dasar ini, maka dalam persepsi penulis bahwa ijma dan qiyas dalam pandangan al-Syātibī adalah termasuk metode ijtihad. Jadi di samping keduanya adalah sumber hukum dalam satu segi, keputusan ijma dan qiyas juga termasuk hasil ijtihad dalam segi lain.

Selanjutnya, al-Syātibī dalam al-Muwāfaqāt menyatakan bahwa sesudah ijma’ dan qiyas, maka metode selanjutnya adalah al-mashlah, yakni al-masālih al-mursalah yang didefinisikan sebagai metode ijtihad yang diberlakukan ketika sesuatu masalah tidak ada sumber nasnya dalam syariat, dalam hal ini jika juga tidak ada sumbernya dari ijma dan selainnya semisal qiyas.[21] al-Masālih al-mursalah (selanjutnya disebut maslahah) sebenarnya telah dipraktekkan sejak masa Nabi saw. Hal ini, telah banyak dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw sendiri membenarkannya. Secara tekstual sahabat telah menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar ketentuan. Namun sahabat melihat al-maslalah yang besar dibalik itu, dan tidak akan menimbulkan mafsadar jika melakukannya, maka teks ditinggalkan dan beralih kepada konteks, sebab pada kondisi tertentu teks tidak relevan, dan kondidi itu pula yang menghendaki untuk beralih kepada yang lebih maslalah, meskipun tidak ada aturannya secara ekpslisit.

Maqāshid al-Syari’ah sendiri dipahami sebagai nilai-nilai dan sasaran-sasran syara’ yang tersirat dalam segenap dalil hukum. Dalam hal ini, sebagai al-maslalah sebagai salah satu tujuan syariat harus ditegakkan. Dikatakan demikian, karena banyak kasus pada zaman Nabi dan sahabat yang diangkat dalam berbagai literatur, salah satu di antaranya dapat dikemukakan sebagai contoh, yakni; suatu ketika nabi saw mengeluarkan aturan supaya kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Beberapa tahun kemudian, sejumlah sahabat-sshabat melanggar peraturan itu. Kasus ini disampaikan kepada Nabi saw. Lalu, beliau membenarkan tindakan sahabatnya itu sambil menerangkan duduk masalahnya bahwa daging disimpang didasarkan atas kepentingan para tamu kita yang terdiri dari orang-orang miskin. Sekarang sudah tidak ada lagi yang datang maka simpanlah.[22] Dari keterangan ini, bahwa maqāshid al-syarī’ah telah menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum. Kebutuhan masyarakat terhadap hukum pada masa tertentu dapat saja berubah dengan mengehendaki adanya hukum dalam wujud yang lain, sebabkan karena adanya perkembangan waktu.

Kondisi masyarakat pada masa Nabi saw yang tentu tidak seperti dengan kondisi yang dialami oleh umat dewasa ini, pada gilirannya akan membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan syariat itu sendiri, di mana dunia Islam sudah bersentuhan dengan peradaban tinggi, dan tentu saja ijtihad untuk menyesuaikan dengan hukum senantiasa dibutuhkan. Itulah konsep maqāshid al-syariī’ah yang ditawarkan oleh al-Syātibī dalam al-Muwāfaqatnya yang berdasarkan pada al-maslahah itu sendiri.

Menurut al-Syātibī, mashalah yang merupakan tujuan Tuhan dalam syariatnya itu mutlak diwujudkan sebab keselamatan dan kesejahteraan tidak akan mungkin dicapai tanpa mashalah terutama yang bersifat dharuriyah dan meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[23] Selanjutnya, al-Syātibi menegaskan bahwa maqāshid al-syarī’ah yang bila dikaitkan dengan kemaslahatan, maka dapat dilihat dari sua aspek. Pertama, tujuan Tuhan (maqāshid al-sraī’ah) dan kedua tujuan mukallaf (maqāshid al-mukallaf). Dilihat dari aspek pertama mengandung empat hal, yaitu (1) tujuan awal Syāru’ menetapkan syariat yaitu kemaslahatan menuais di dunia dan akhirat (2) penetapan syariat sebagai suatu yang harus dipahami; (3) penetapan syariat sebagai suatu yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syariat untuk membawa manusia ke bawah lindungan hukum.[24] Tujuan Tuhan dalam menetapkan suatu syariat bagi manusia tidak lain adalah kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena itu, Tuhan menuntuut manusia memahami dan melaksnakan syariat berdasarkan kadar kemampuannya. Dengan memahami dan melaksanakan syariat, manusia akan tertandingi dari kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.

Adapun tujuan syariat dilihat aspek mukallaf ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syariat sebagai digariskan oleh syari’ di atas. sehingga tujuan dapat tercapai, yakni kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat.

Berbagai contoh kemaslahatan (al-maslalah) yang dikemukakan al-Syātibī dalam al-Muwāfaqāt. Di antaranya adalah menjadikan Alquran dalam satu mushaf dan usaha menerbitkannya, termasuk juga kategori ini (contoh lain) adalah menkodifikasikan ilmu-ilmu syariat dan selainnya, misalnya saja; Ilmu Nahwu yang dalam hal ini tidak ditemukan adanya dalil untuk melakukan usaha tersebut.

Maslahah dalam bentuk jamaknya masālih, menurut al-Syātibī ialah apa yang melandasi kesempurnaan hidup manusia dan memungkinkan manusia dapat memperoleh kebutuhan hidup sehingga manusia dapat hidup sejahtera. Hal ini tidak dapat dicapai begitu saja secara i’tiyād (menurut biasanya) saja, justru usaha mencapai kemaslahatan itu memperhadapkan manusia pada berbagai tantangan yang sulit. Seperti halnya soal makan, minum, pakaian, perumahan, kendaraan, perbikahan dan lain-lain, tidak akan mungkin diperoleh kecuali dengan kerja keras.[25]

Selanjutnya, al-Syātibī mengklasifikasi maslahah itu ke dalam tiga tingkatan, yakni darūriyah, hājiyah, dan tahsīniyah. Yang dimaksud dengan Darūriyah ialah segala sesuatu yang mutlaq ada demi kehidupan dan kesejahteraannya di dunia dan akhirat. Jika kemaslahatan darūriy ini tidak terwujud maka kehidupan manusia terancam kepunahan dan untuk kehidupan akhirat, manusia terancam siksaan.[26] Kemaslahatan darūriy ini meliputi lima hal, yaitu terjaminnya kewajiban beriman kepada Allah, terjaminnya kewajiban untuk hidup, terpeliharanya kesehatan akal, lestarinya keturunan dan terpeliharanya harta benda.

Sedangkan yang dimaksud dengan hajiyah ialah terpenuhinya segala kebutuhan manusia dalam bentuk fasilitas sehingga kehidupan manusia terhindar dari kesulitan (masyaqqah). Jika kebutuhan macam kedua ini tidak terpenuhi, maka kehidupan manusia akan menghadapi berbagai kendala yang menyulitkan, meskipun kendala itu tidak sampai membinasakan hidupnya. Yang terakhir, adalah tahsīniyah ialah segala hal yang turut menyempurna-kan kehidupan manusia secara layak menurut akal dan tradisi serta terhindarnya kehidupan manusia dari cacat dan kekurangan. Meskipun hanya bersifat komplemen, kemaslahatan tahsiniyah tidak kurang petingnya sebab banyak berkaitan dengan etika hidup yang baik (makārim al-akhlāq).[27]

Dari uraian-uraian al-Syātibī tentang maslahah sebagai metode ijtihad, sebagaima dalam al-Muwāfaqāt, maka selanjutnya beliau sampai pada kesimpulan bahwa tegaknya kehidupan dunia, baru bisa tercapai bila maslahah diterapkan dengan baik.[28] Dengan demikian, segala hal yang hanya mengandung kemaslahatan dunia tanpa kemaslahatan akhirat atau tidak mendukung terwujudnya kemaslahatan akhirat, menurut al-Syātibī bukanlah maslahah. Dengan kesimpulannya ini, maka dapat dipahami bahwa manusia dalam mewujudkan maslahah haruslah terbebas dari nafsu duniawi, karena kemaslahatan tersebut tidak diukur menurut keinginan nafsu.

Berdasar dari uraian-uraian di atas, tergambar dengan jelas bahwa kebutuhan hidup manusia mulai dari jenjang tahsiniyat sampai daruriyat, tidak satupun yang tidak mengandung maslahah. Demikian kajian al-Syātibi tentang maqāshid al-syarī’ah dalam kitabnya al-Muwaāfaqāt.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :

1. al-Syātibī yang bernama lengkap Abū Ishāq Ibrāhim Ibn Mūsa al-Gharnatiy adalah termasuk mujtahid, yang telah mewariskan karya monomentalnya al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-sayrī’ah. Menurut pengakuan al-Syātibī dalam al-Muwāfaqāt bahwa dalam melakukan ijtihad, ia melandaskan argumennya berdasarkan dalil-dalil qat’ī yang bersumber dari Alquran, al-Sunnah (hadis), ijmā’ dan qiyas. Alquran dan al-Sunnah menurutnya, adalah sebagai sumber hukum yang secara implisit merupakan dalil naqli.

2. Menurut al-Syātibi dalam kitab al-Muwāfaqāt-nya bahwa selain Alquran dan hadiu, maka ijma dan qiyas, secara eksplisit, juga termasuk dalil naqli. Sekiranya tidak ada kepastikan dalil dari dalil-dalil naqli yang disebutkan itu, maka dalil berikutnya adalah menjadikan maqāshid al-syarī’ah sebagai pijakan utama dengan mendahulukan maslahah sebagai metode ijtihadnya yang jitu dan akurat. Masalah maslahah dalam al-Muwāfaqāt adalah harus merujuk pada al-dharuriyah yang meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan. Dengan maslahah tersebut, menurut al-Syātibī, akan melandasi kesempurnaan hidup manusia dan memungkinkan manusia dapat memperoleh kebutuhan hidup sehingga manusia dapat hidup sejahtera.

B. Implikasi dan Saran

Dengan mengenal potret al-Syātibī, berimplikasi pada pentingnya penguasaan ilmu syariat. Implikasi berikutnya, adalah menjadikan dalil-dalil naqli sebagai pijakan ijtihad dan menempatkan maslahah sebagai metode ijtihad dalam upaya menggapai kesejahteraan hidup. Dengen implikasi ini maka disarankan agar :

1. Kajian tentang potret dan profil al-Syātibī dapat dikembangkan, agar posisinya sebagai mujtahid dapat diketahui dengan baik, dan sangat memungkinkan untuk diikuti serta diteladani.

2. Maqāshid al-Syāriah sebagai pijakan utama maslahah dalam konsep al-Syātibi, sebaiknya dikembangkan dan disosialisasikan tengah-tengah masyarakat, sehingga pada gilirannya masyarakat mengetahui bahwa syariat Islam tidak baku, melainkan ia bergerak sesuai dengan kondisi.[]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān al-Karīm

Darrās, ‘Abdullah. Muqaddimah al-Muwaffaqāt, juz I. Cet. III; Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424 H

Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992

Durayb, Sa’ud ‘Ali. al-Tanzīm al-Qadh’iy fī al-Mamlakāt al-A’arbiyah. Riyād: Matba’ah Hanifah, 1973

Haq, Hamka. Aspek-aspek Teologi dalam Konsep Maslahat menurut al-Syāthibī “Desertasi Doktor” (Jakarta: Pascasarjana IAIN Syahid, 1990

Hitti, Philips K. . History of The Arabs. London: The Macmillan Press, 1974

Ibn Anas, Malik al-Muwaththā’. Bairūt: Dār al-Malāyin, t.th

Kamali, Muhammad Hasyim. Principles of Islamic Juris Prodence; the islamics Texts Society, diterjemahkan oleh Norrhaidi dengan judul Prinsip-prinisp dan Teori-teori Hukum Islam; Ushul Fiqh. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofset, 1991

Ma’luf, Louis. al-Munjid fī al-Lugha. Bairūt: Dār al-Masyriq, 1977

Masud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosopy. Islamabad: Islamic Research Institue, 1977.

Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Fikih Islam “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Fikih/Ushul Fikih” disampaikan pada Rapat Senat Terbuka IAIN Alauddin Makassar, Senin, 31 Mei 2004, h. 18

, Sistematika Filsafat Hukum Islam. Cet. I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1996

al-Sālih, Subhi. ‘Ilm Mustalāh al-Hadīś. Madīnah: Dār al-Turāś, 1992

al-Syātibī, Abū Ishāq Ibrāhim Ibn Mūsa al-Gharnatiy, al-Muwaffaqāt fī Usūl al-Syarī’ah, Cet. III; Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424 H

Zahrah, Abū. Kitāb Ushūl al-Fiqh. Madīnah; Dār al-Ma’ā’rif, 1979



[1]Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h. 139.

[2]Hamka Haq, Aspek-aspek Teologi dalam Konsep Maslahat menurut al-Syāthibī “Desertasi Doktor” (Jakarta: Pascasarjana IAIN Syahid, 1990), h. 5

[3]Menurut Hamka Haq, bahwa di antara karya tulis al-Syātibī selain al-Muwāfaqāt dan al-I’tisām namun tidak sempat diterbitkan adalah Syarh al-Jalīl ‘Alā Khulāsah fī al-Nahw; al-Ifādhah wa al-Insyādah; ‘Unwān al-Ittifāq dan Ushūl al-Nahw. Karya-karya yang disebutkan terakhir ini, hanya berbentuk manuskrip dan sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Lihat ibid., h. 45

[4]Bagi orang Romawi, kota terbut diberi nama Saetabis. Kota tersebut terletak di bagian Timur Spanyol, dan termasuk wilayah Valencia. Kota Syatībah sangat masyhur di abad pertengahan, dengan industri kertasnya, yang tidak hanya diekspor ke segenap penjuru Spanyol ketika itu, tetapi juga ke segenap penjuru dunia termasuk Mesir. Pada masa kekuasaan Islam, kota Syatībah merupakan kota kedua terbesar dalam wilayah Velencia, dan penduduknya ketika itu jauh lebih ramai dibangdingkan sekarang. Sejarah kota tersebut berawal ketika disatukan dengan Velencia sebagai bahagian dari satu kerajaan tersendiri yang dibangun pada abad XI oleh ‘Abd. Azīz Hafid al-Hajīb al-Mansūr Ibn ‘Amir. Kota tersebut direbut kembali oleh Kristen setelah Raja James I dari Arragon menggempurnya di tahun 1239-1240. Segera sesudah kota itu dikuasai kristen, terjadi tindak kekerasan atas umat Islam yang berakhir dengan diusirnya segenap umat Islam dari kota itu di akhir tahun 1247. Disadur dari Philips K. Hitti, History of The Arabs (London: The Macmillan Press, 1974), h. 563-564.

[5]Hamka Haq, op. cit., h. 6-7

[6]Mengenai guru-guru al-Syātibī, lihat selengkapnya dalam ibid., h. 31-32. Sumber lain adalah Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosopy (Islamabad: Islamic Research Institue, 1977), h. 100-101

[7]Ibid.

[8]Louis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lugha (Bairūt: Dār al-Masyriq, 1977), h. 911

[9]Istilah Syariat pada mulanaya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih (fiqh) dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan segala yang diperintahkan Allah. Dengan demikian, syariat mengandung arti mengeskan Allah, mentaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitabnya dan hari pemlasan. Pendeknya syariat mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi Muslim. Uraian lebih lanjut mengenai batasan ini, lihat Sa’ud ‘Ali Durayb, al-Tanzīm al-Qadh’iy fī al-Mamlakāt al-A’arbiyah (Riyād: Matba’ah Hanifah, 1973), h. 23

[10]Lihat pernyataan ‘Abdullah Darrās, Muqaddimah al-Muwaffaqāt, juz I (Cet. III; Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424 H), h. 3.

... لما كان الكتاب العزيز هو كلية الشريعة، وعمدة الملة، وكانت السنة راجعة فى هذه الشريعة بنفسه – من الرجوع إلى الكتاب والسنة أو إلى ما تفرق عنهما بطريق قطعي من الإجماع والقياس .

[11]Lihat ibid.

ولما كان الكتاب والسنة واردين بلغة العرب، وكانت لهم عادت في الاستعمال، بها يتميز صريح الكلام وظاهره ومجمله، وحقيقته ومجازه، عامه وخاصة، ومحكمته ومتشابه، ونصه وفحواه، إلي غير ذالك، كان لا بد – لطالب الشريعة من هذين الأصلين – أن يكون على علم بلسان العرب في مناحي خطابها، وما تنساق إليه أفهامها في كلامها، فكان حذق اللغة العربية بهذه الدرجة ركنا من اركان الاجتهاد، كما تقرر ذلك عند عامة الأصوليين.

[12]Al-Syātibī, al-Muwaffaqāt, juz I (Cet. III; Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424 H), h. 21-22

ولأن الحفظ المضموم فى قوله تعالي (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ: الحجر،9) إنما المراد به حفظ أصول الكلية المنصوصة، وهو المراد بقوله تعالى (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ: المائدة، 3)

[13]رقبة السنة التأخير عن الكتاب فى الإعتبار، والدليل على ذلك أمور أحدهما أن الكتاب مقطوع به والسنة والقطع فيما إنما يصح فى الجملة لافى التفصيل. بخلاف الكتاب فإنه مقطوع به فى الجملة والتفصيل و المقطوع به مقدم على المظنون فلزم من ذلك تقديم الكتاب

على السنة

[14]Hadis yang berkualitas Shahīh adalah ; bersambung sanadnya, tidak cacat dan janggal (la syazza wa la ‘illatan), diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit (śiqah), dan matannya sejalan dengan Alquran, hadis sahih lainnya, serta tidak bertentangan dengan akal sehat. Lihat Subhi al-Sālih, ‘Ilm Mustalāh al-Hadīś (Madīnah: Dār al-Turāś, 1992), h. 27

[15]Ibid., h. 25

[16]وقد عد الناس قوله تعالي : التجكم بين الناس بما اراك الله، متضمنا للقياس. وقوله وما آتاكم الرسول فخذوه، متضمنا للسنة . وقوله ويتبع غير سبيل المؤمنين متضمنا للاجماع

وهذا اهم مايكون

[17]Muhammad Hasyim kamali, Principles of Islamic Juris Prodence; the islamics Texts Society, diterjemahkan oleh Norrhaidi dengan judul Prinsip-prinisp dan Teori-teori Hukum islam; Ushul Fiqh (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofset, 1991), h. 37

[18]Abū Zahrah, Kitāb Ushūl al-Fiq (Madīnah; Dār al-Ma’ā’rif, 1979), h. 15

[19]H. Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Fikih Islam “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Fikih/Ushul Fikih” disampaikan pada Rapat Senat Terbuka IAIN Alauddin Makassar, Senin, 31 Mei 2004, h. 18

[20]al-Syātibī, loc cit.

[21]Lihat pernyataan al-Syātibī dan pensyarah kitab al-Muwāfaqāt, ibid., h. 27 sebagai berikut :

ويدخل تحت هذ ضرب الاستدلال المرسل : اى المصالح المرسلة وهي التي لم لها أصل شرعي من نص أو إجماع لا بالاعتبار ولا باإلغاء، وذلك كجمع المصحف وكتابه فإنه لم يدل عليه نص من قبل الشارع، ولذا توفق فيه أبو بكر وعمر أولا، حتى تحققوا من أنه مصلحة فى الدين تدخل تحت مقاصد الشرع فى ذلك، ومثله ترتيب الدواوين وتدوين العلوم الشرعية وغيرها. ففى تدوين النحو مثلا لم يشهد له دليل خاص، ولكنه شهد له أصل كلى قطعى يلائم مقاصد الشرعى وتصرفاته، بحيث يؤخذ حكم هذا الفرع منه وأنه مطلوب شرعا، وإن كان محتاجا إلى وساءط لإدراجه فيه.

[22]Lihat kasus tersebut dalam riwayat Malik ibn Anas, al-Muwaththā’ (Bairūt: Dār al-malāyin, t.th), h. 299

[23]al-Syātibī, al-Muwāfaqāt, op. cit, juz I, h. 15 dan juz II, h. 25

[24]Ibid., juz II, h. 2

[25]Ibid., h. 14

[26]Ibid., h. 7

... وهذه المقاصد لا تعدو ثلاثة أقسام، احدها: ان تكون ضرورية، والثانى : ان تكون حاجية، والثالث : ان تكون تحسينية. فأما الضرورية فمعناها أنها لا بد مهخا فى قيام مصالح الدين والدنيا، بحيث إذا فقدت لم تجر مصالح الدنيا على استقامه، بل على فساد وتهارج وفوت حياة. وفى الأخرى فوت النجاة زالنعيم، والرجوع بالخسران المبين

[27]Ibid., h. 9

وأما الحاجيات فمعناها أنها مفتقر إليها من حيث التوسعة ورفع الضيق المؤدى في الغالب الى الحرج والمشقة الاحقةبفوت المطلوب. فإذا لم تراغ دخل على المكافين على الجملة – الحرج المشقة، ولكنه لا يبلغ مبلغ الفساد العادي التوقع فى المصالح العامة ...وأما التحسينيات فمعناها الأخذ بما يليق من محاسن العادات، وتجنب الأحوال المدنسات التى تأليفها العقول الراجحات، ويجمع ذلك قسم مكارم الأخلاق.

[28]Ibid., h. 37

0 komentar:

Posting Komentar

selamat datang