Senin, 15 Juni 2009

Pemikiran Etika George Wilhelm Friedrich Hegel

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Membicarakan masalah moral sama dengan membicarakan masalah baik dan buruk mengenai perilaku manusia. Namun, sejauh mana perbuatan itu dianggap baik dan sejauh mana perbuatan itu dianggap buruk? Atas dasar apa baik dan buruk itu ditetapkan? Bagaimana caranya mengetahui yang benar dan yang salah? Apa patokan untuk mengetahui yang terpuji dan yang tercela? Apakah sumber yang sebenarnya dari pengetahuan yang baik dan yang buruk itu?.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas adalah tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku yang tidak baik.[1]

Apakah yang dilarang oleh masyarakat kita memang benar- benar hal yang buruk? Dan apakah hal yang dinilai tinggi oleh maysarakat kita memang benar-benar baik? Mengapa saya harus bertindak begini dan tidak boleh begitu? Mengapa saya harus selalu jujur? Apakah saya selalu harus jujur dalam segala situasi?. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menuntut sikap kritis dan rasional dalam mewujudkan norma-norma moral. Dan itulah etika.

Karena etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja. Etika memang pada akhirnya menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena tindakan itu diperintahkan oleh moralitas, (oleh nenek moyang, orang tua, guru), melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik baginya. Ia sendiri sadar secara kritis dan rasional bahwa ia memang sudah sepantasnya bertindak seperti itu. Atau, kalau ia akhirnya bertindak tidak sebagaimana yang diperintahkan oleh moralitas, orang itu bertindak tidak sesuai dengan moralitas bukan karena ikut-ikutan atau sekadar mau tampil beda, melainkan karena ia punya alasan rasional untuk itu. Ia bertindak berdasarkan pertimbangan bahwa hal itu, walaupun bertentangan dengan moralitas, adalah baik baginya dan bagi masyarakat karena alasan-alasan yang rasional.

Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa ia bertindak begitu. Maka kebebasan dan tanggung jawab adalah kondisi dasar bagi pengambilan keputusan dan tindakan etis, dengan suara hati memainkan peran yang sangat sentral.

Para filsuf di bidang etika (moral) sudah lama "bertengkar" dalam menjawab masalah besar yang pernah dihadapi manusia sejak zaman dulu hingga sekarang. Para filsuf itu tidak memberikan jawaban yang seragam mengenai apa dan bagaimana mengetahui yang baik dan buruk itu, tetapi mereka mengemukakan pendapat mereka sendiri-sendiri menurut visi masing-masing. Aliran empirisme, misalnya, menganggap pengalaman manusia merupakan satu-satunya sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui yang baik dan buruk. Sedangkan aliran intuisionisme berpendapat sumber perbuatan baik dan buruk adalah intuisi. Dan aliran rasionalisme (diwakili Plato, Aristoteles, Spinoza, Hegel. dll.) mempercayai rasio sebagai sumber pengetahuan baik dan buruk.[2]

Salah seorang filsuf yang konsen membahas khusus mengenai moralitas adalah George Wilhelm Friedrich Hegel seorang filosof Jerman yang terkenal dengan teori dialektikanya. Maka dari itu untuk lebih mengarahkan pembahasan kita kali ini, penulis akan mengupas konsep filsafat moral Hegel untuk bisa mengerti lebih baik tentang makna moralitas, bersama ini pula akan dilihat pergumulan pemikiran tentang moral, juga kaitannya dengan konsep moral dalam Islam sebagai refleksi perbandingan pemikiran antara Barat dan Islam.

B. Rumusan Masalah

Yang menjadi masalah pokok pada makalah ini adalah “Bagaimana memahami konsep filsafat Moral George Wilhelm Friedrich Hegel serta bagaimana Islam memaknai moralitas itu?. Dan untuk sistematisnya pembahasan ini, maka akan diformulasikan dalam beberapa sub masalah sebagai berikut:

1. Biografi Singkat George Wilhelm Friedrich Hegel.

2. Bagaimana konsep dialektika George Wilhelm Friedrich Hegel?

3. Bagaimana George Wilhelm Friedrich Hegel menjawab pergolakan pemikiran tentang konsep Moral?

4. Bagaimana pula Konsep Moral dalam Pandangan Islam?


5.

II. Pembahasan

A. Biografi Singkat Hegel

George Wilhelm Friedrich Hegel dilahirkan di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Di masa kecilnya, ia lahap membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan tentang berbagai topik lainnya. Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca sebagian disebabkan oleh ibunya yang luar biasa progresif yang aktif mengasuh perkembangan intelektual anak-anaknya. Keluarga Hegel adalah sebuah keluarga kelas menengah yang mapan di Stuttgart. Ayahnya seorang pegawai negeri dalam administrasi pemerintahan di Württemberg. Hegel adalah seorang anak yang sakit-sakitan dan hampir meninggal dunia karena cacar sebelum mencapai usia enam tahun. Hubungannya dengan kakak perempuannya, Christiane, sangat erat, dan tetap akrab sepanjang hidupnya[3].

George Wilhelm Friedrich Hegel belajar teologi di Universitas Tubingen hingga meraih doktor pada 1791. Ketika itu, karya tulisnya masih bertaut dengan agama Kristen, misalnya The Life of Jesus danThe Spirit of Chiristiany (Tafsir, 2004: 152). Hegel mulai menekuni filsafat ketika pada 1801 bertemu dengan Schelling di Universitas Jena, dan turut mengajar mata kuliah Filsafat di sana, hingga jerih payahnya membuahkan karya filsafat pertama berjudul The Difference Between Fichte’s and Schelling’s Systems of Philosophy.[4]

Perjumpaan dengan karya-karya Friedrich Hölderlin (1770-1843) dan Friedrich von Schelling (1775-1854), diakui Hegel, cukup mempengaruhi pergulatan intelektual dan tradisi filsafatnya. Tidak begitu mengejutkan bila Hegel sempat menyebut keduanya sebagai pemikir besar Filsafat Jerman abad 19. Berkat hubungan erat tersebut, pada 1803, bersama Schelling, Hegel mengedit Critical Journal of Philosophy. Tahun 1906 Hegel berhasil menyelesaikan karya utamanya, Phenomenology of Spirit, dan dipublikasikan pada tahun berikutnya. Dalam karya ini, pemikirannya nampak amat berbeda dengan pendekatan Schellingian. Schelling sendiri menganggap kritik tajam Hegel dalam pengantar Phenomenology ditujukan padanya. Dan sejak saat itu persahabatan mereka kandas di tengah jalan.[5]

Tahun 1808-1815 Hegel dipercaya sebagai kepala sekolah dan guru Filsafat di Gymnasium, Nuremberg. Selama di sana ia menikah, memulai hidup berkeluarga, dan menerbitkan Science of Logic. Pada tahun 1816 ia kembali ke universitas dengan menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Heidelberg. Dua tahun berikutnya menjadi Guru Besar di Universitas Berlin. Sejak saat itu, nama Hegel semakin tersohor di dunia Filsafat Jerman. Dan ketika berada di Heidelberg itulah, Hegel mempublikasikan Encyclopaedia of the Philosophical Sciences, sebuah karya sistematik versi ringkasan dari Science of Logic (Encyclopaedia Logic atau Lesser Logic). Berikutnya, Hegel menerbitkan Philosophy of Nature dan Philosophy of Spirit, sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam Science of Logic.

Di tahun 1821, popularitas Hegel membumbung tinggi dengan dipiblikasikannya buku ”Grundlinien der Philosophie des Rechts” (Garis-garis besar filsafat hukum)[6], di tahun yang sama pula ketika berada Berlin, Hegel mempublikasikan karya utamanya dalam bidang filsafat politik, Elements of the Philosophy of Right, berdasarkan materi kuliah yang ia berikan di Heidelberg. Namun akhirnya nampak begitu jelas, dasar argumentasi dalam karya ini berasal dari objective spirit karya Encyclopaedia Philosophy of Spirit. 10 November 1831: memberi kuliah pembukaan di Universitas Berlin, tiga hari kemudian terkena serangan kolera jenis paling intensif (begitu keterangan dkter pada saat itu) yang lalu merenggut nyawanya pada keesokan harinya tanggal 14 November 1831. Di atas mejanya ditemukan sketsa tulisannya Tentang Bukti-Bukti bagi Adanya Allah. Atas permintaannya sewaktu masih hidup, Hegel dikuburkan di samping Georg Fitche (1762-1861), rekan filsufnya.[7] Selepas kematiannya, kumpulan materi kuliah Hegel tentang philosophy of history, philosophy of religion, aesthetics, dan history of philosophy, juga turut dipublikasikan.[8]

B. Dialektika Hegel

Semua pemikiran Hegel berangkat dari sistem pemikirannya yang mencoba mencari jalan keluar, atau bahkan mempertentangkan dua persoalan yang berbeda dan berseberangan. Dialektika[9] menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran)dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Metode dialektika Hegel mencakup hal-hal sebagai berikut:[10]

1. Proses dimana sebuah pemikiran atau sesuatu hal yang eksis dengan pasti menggiring pada lawannya (atau kontradiktorinya), sehingga tiba pada sebuah sintesis (kesatuan) baru.

2. Proses perubahan dalam pemikiran dan alam semesta dimana sebuah tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (kebenaran) dan eksistensi (kesatuan) dicapai dengan menghadapi lawan-lawan yang pasti.

3. Proses perubahan yang pasti melibatkan tiga elemen: (a) sebuah hal atau pemikiran yang eksis (thesis). (b) lawan/kebalikannya (antithesis), (c) kesatuan (synthesis) yang dihasilkan dari interaksinya dan kemudian menjadi basis (thesis) dari gerak dialektik lainnya. Terkadang disebut sebagai triadic dialectic.

Dialektika Hegel memiliki karakter membangun dan evolusioner, yang tujuan akhirnya adalah penyempurnaan seutuhnya.[11] Manusia berbeda dari hewan karena dia mengendalikan dirinya, mengekang syahwatnya, dan tidak merealisir keinginan-keinginannya tanpa sarana. Bahasa, perbuatan dan orang lain adalah sarana-sarana yang dapat digunakan individu untuk merealisir eksistensinya.[12] Dialektika Hegel merupakan proses dimana sebuah pemikiran atau sesuatu hal yang eksis dengan pasti menggiring atau berhadapan dengan lawannya (atau kontradiktorinya), sehingga tiba pada sebuah sintesis (kesatuan) baru, atau proses perubahan dalam pemikiran dan alam dimana sebuah tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (kebenaran) dan eksistensi (kesatuan) dicapai dengan menghadapi lawan-lawan yang pasti yang ada dibawahnya. Jelasnya, sebuah eksistensi dicapai dengan adanya sintesa dan interaksi antara eksistensi-eksistensi yang lain.[13]

Hegel menganggap bahwa metode dialektika merupakan metode berpikir yang benar. Hegel sangat mengagumi filsuf Yunani Herakleitos yang mengatakan bahwa ”pertentangan adalah bapak sesuatu”. Dialektik yang dimaksud Hegel adalah hal-hal yang sebenarnya sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Kita kerap kali mengalami situasi yang memerlukan pendamaian hal-hal yang bertentangan satu sama lain sehingga diperlukan mengusahakan kompromi antara beberapa pendapat atau keadaan yang berlawanan itu. Sebagai contoh, dalam keluarga, suami isteri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan antithesis. Bagi suami anak dapat merupakan bagian dari dirinya sendiri, demikian juga bagi si isteri. Dengan demikian si anak merupakan sintesis bagi suami isteri tadi.[14]

C. Konsep Moral

Sebelumnya harus dibedakan antara etika dan moral. Menurut Berten,[15] etika adalah tata susila atau tindakan yang mengandung nilai-nilai moral, sedang moral itu sendiri adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk yang menjadi pedoman dari tindakan etik. Tegasnya, etika lebih merupakan refleksi filosofis dari moral. Jadi etika lebih merupakan wacana normatif yang relatif, sedang moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak dan transenden. Moral menjawab apa yang harus saya lakukan, etika menjawa bagaimana hidup yang baik.

Menurut David Hume[16] moralitas merupakan sistem tata nilai yang berdasarkan pada fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Pengalaman sehari-hari, pengalaman indera dan pengalaman perasaan itulah yang membentuk pengetahuan dan kecenderungan pada kita, yang pada giliranya memberikan pertimbangan-pertimbangan moral saat kita meski berbuat. Tidak ada nilai-nilai mutlak di luar yang empiris tersebut. Sebaliknya, menurut Kant,[17] persoalan moral sama sekali lepas (dan memang harus lepas) dari pengaruh lingkungan, kebiasaan, pengalaman dan segala yang empiris, tetapi semata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan moral yang mutlak. Bagi Kant, penilaian dan tindakan moral bukan urusan pribadi (moral sentiment) atau keputusan sewenang-sewenang (decionism) dan juga bukan masalah asal usul sosial-kultural, sopan santun, atau adat istiadat (relativisme kultural), tetapi berada dibawah keterikata moral yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh orang lain. Artinya, tindakan seseorang yang bisa diterima sebagai bernilai moral adalah tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai yang mutlak, yang lepas dari pengaruh-pengaruh kebiasaan, adat-adat dan kecenderungan.

Selanjutnya, menurut Sartre,[18] hampir sama dengan konsep Immanuel Kant, moralitas tidak dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, kebiasaan atau adat-adat yang ada, tetapi tidak juga didasarkan atas nilai-nilai mutlak Sebagaimana dalam Kant. Menurut Sartre, tindakan moral seseorang ditentukan oleh nilainilai yang ciptakan sendiri oleh yang bersangkutan, lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya (empiris) maupun nilai-nilai mutlak (Idea). Sebab, dengan konsepnya tentang eksistensialisme, tindakan manusia yang dipengaruhi oleh pihak luar diluar dirinya; nilai-nilai empiris dari masyarakat maupun nilai mutlak dari Tuhan, tidak lagi dikatakan sebagai tindakan yang mendiri, merdeka, yang berarti tidak bisa dianggap bernilai moral. Apa yang dimaksud dengan tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan secara mandiri, merdeka dan bebas dari keterpengaruhan dari aspek-aspek luar tersebut,[19] sehingga bisa dipertanggungjawabkan.

Sementara itu menurut Aristoteles, aktualisasi potensi tidak hanya dilakukan di dunia Idea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong manusia untuk bertindak sosial. Manusia bisa dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalam kehidupan negara dan tidak lepas dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilah sumbangan utama etika Aristoteles. Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itu sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik.[20] Persoalan baik dan buruk harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut kehendak”,[21] bukan pada tujuannya.

Dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusia sendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika Aristoteles, transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi terlupakan. Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih,[22] meski sama-sama menyatakan kebahagiaan sebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai manakala manusia mampu mentransfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakantindakannya tidak dilakukan sembarangan yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justru tersoroti dan tercerminkan oleh nilai-nilai ketuhanan.

Pemikiran etika Hegel merupakan sintesis dari etika Aristoteles dan etika Kant. Menurut Aristoteles, hidup etis terlaksana dalam partisipasi dalam kehidupan polis (Negara kota). Jadi berpolitik, dalam arti partisipasi, dan beretika adalah sama. Sedangkan Kant membedakan secara tajam antara hukum (legalitas) dan moralitas. Bagi Kant, hukum adalah tatanan normatif lahiriah masyarakat, dalam arti bahwa ketaatan yang dituntut olehnya adalah ketaatan lahiriah, sedangkan motivasi batin tidak termasuk. Maka taat hukum belum mencerminkan moralitas. Sedangkan moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum yang tertulis dalam hati manusia. Suatu tindakan hanya dianggap bermoral kalau diambil secara otonom, berdasarkan kesadaran sendiri tentang kewajiban. Kriteria mutu moral seseorang adalah kesetiaannya terhadap suara hatinya sendiri. Setiap orang tidak hanya berhak, melainkan berkewajiban untuk senantiasa mengikuti suara hatinya.

Hegel menempatkan diri atas paham moralitas otonom yang dikembangkan Kant. Namun ia sekaligus kritis terhadap Kant. Baginya posisi Kant adalah abstrak karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya selalu sudah bergerak dalam ruang yang ditentukan oleh struktur sosial yang mewadahi tuntunan moral. Namun ia tidak sekadar kembali ke Aristoteles. Ia kembali, tetapi di satu level dialektis lebih tinggi. Dengan menempatkan fenomena moralitas ke dalam kerangka sebuah filsafat sejarah yang luas, Hegel mampu mengatasi keabstrakan Kant dan sekaligus menempatkan legitimasi struktur sosial itu ke tingkat yang lebih tinggi. Sittlichkeit dipahaminya sebagai tatanan sosial moral yang terwujud dalam lembaga-lembaga kehidupan kemasyarakatan manusia.[23]

Menurut Hegel moralitas tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai mutlak yang ada dalam idea, tapi juga tidak lepas dari apa yang ada di dunia empiris, yang ada dalam masyarakat! jadi, Hegel memberikan makna tersendiri bagi moralitas yang dengan itu berarti mengisi kekurangan yang ada pada Aristoteles dan yang ada pada Kant (realitas norma yang ada dalam masyarakat) etika kebahagiaan sebagai kenaikan tertinggi (etika teleologis)[24].

Dalam dunia moral, kita dapat mengklaim bahwa manusia saat ini hanya berbicara sewenang-wenangnya. Yang penting saat ini adalah manusia harus lebih mengenal dirinya sendiri dan memberikan hukuman moral pada dirinya sendiri . di sini kemudian kita harus menentukan dasar yang menjadi patokan hidup secara umum. Bagaimanapun hal itu mungkin akan mengancam. Manusia akan menemukan sebuah jalan hidup dari kelemahan mereka sendiri, dan dari kebingungan dan keterbatasan duniawi yang kekal. Bergeser pada pemikiran yang seperti ini, manusia telah membangun prinsip-prinsip moral yang mengarahkan pikiran mereka tentang kehidupan dunia dan dalam berbagai bentuk filosofi yang telah dibangun yang disebut dengan moral teleology.[25]

Inti filsafat Hegel adalah gerak perkembangan ke arah kebebasan yang semakin besar. Kebebasan manusia bukan sekadar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakikat seluruh kerangka sosial di dalamnya manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu hukum, moralitas individu, dan tatanan sosial-moral (sittlichkeit). Tiga lembaga ini merupakan tiga tahap pengembangan gagasan kehendak yang pada dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri bebas.

Hukum adalah eksistensi langsung (pertama) yang diambil kebebasan secara langsung. Contoh utamanya adalah hak milik pribadi. Dalam hak milik pribadi kebebasan kehendak diakui oleh karena benda yang merupakan milik seseorang diakui dan dijamin sebagai itu. Namun hukum adalah hal yang semata-mata formal dan lahiriah karena tidak melihat kekhususan pribadi yang bersangkutan, seperti motivasi, kehendak dan maksud-maksud pribadi.

Moralitas adalah negasi dialektik hukum. Subjek yang bermoral tidak tunduk kepada hukum yang dipasang dari luar, melainkan kepada hukum yang disadari dalam hati. Dalam moralitas manusia bebas dari heteronomi, menjadi otonomi. Moralitas adalah lingkaran kehendak subjektif yang mempertahankan diri secara otonom berhadapan dengan dunia luar. Maka kebebasan sekarang tidak lagi terikat pada benda, hak milik, melainkan hanya dapat menjadi nyata dalam kehendak sebagai kehendak subjektif.

Tetapi moralitas pun bagi Hegel masih abstrak karena hanya ada dalam kebatinan murni dan tidak mengacu pada struktur-struktur objektif dunia luar. Tidak cukup mengatakan kepada seseorang, ikutilah suara hatimu, karena suara hati sendiri masih memerlukan orientasi. Suara hati hanya membunyikan perintah untuk melakukan apa yang benar. Tapi yang benar sendiri itu apa? Menurut Hegel yang benar adalah yang rasional, dan yang rasional itu digariskan melalui struktur realitas sosial, yang oleh Hegel disebut sittlichkeit[26].

Sittlichkeit pada dasarnya ditentukan oleh tiga lingkup hidup manusia: keluarga, masyarakat luas, dan negara. Ketiganya menentukan, melalui adat istadat, kebiasaan, dan hukum, bagaimana individu harus bertindak sebagai makhluk moral. Namun tatanan sosial yang berhak menjadi acuan bagi moralitas individu adalah tatanan yang bersyarat: yaitu rasional, tatanan yang sudah mewadahi otonomi dan martabat manusia, mengakui kebebasan penuh subjektivitas manusia. Individu baru mencapai kemerdekaannya secara penuh apabila setiap hendak bertindak tidak selalu harus mengadakan pertimbangan baru tentang tindakannya. Individu yang bertindak sesuai dengan struktur-struktur itu berarti merealisasikan kebebasannya sendiri. Namun bila tatanan itu merosot ke otoritarianisme, tidak mengindahkan kebebasan dan otonomi individu, maka manusia harus tetap mempertahankan moralitasnya yang otonom dalam dirinya. Hegel tetap mengakui bahwa suara hati adalah hukum terakhir bagi individu. Tak ada jalan kembali ke moralitas hukum yang legalistis. Dalam hal ini Hegel kembali kepada Kant.[27]

Moralitas dalam pandangan Hegel adalah sintesa antara hukum yang bersifat empirik dengan nilai-nilai moral yang bersifat batin atau ideal. Sehingga dalam pandangan Hegel, negara, keluarga dan masyarakat dianggap sebagai idea moral yang telah terealisir, tempat idealitas atau nilai-nilai dan realitas atau hukum-hukum bertemu. Institusi-institusi tersebut merupakan substansi moral yang telah sadar akan dirinya, dimana keputusan-keputusan individu yang merupakan keputusan roh subjektif telah tertiadakan.[28]

Sementara itu, Nietzsche sangat menentang nilai-nilai moral yang dikemukakan oleh Kant dan Hegel, Kant mengakui adanya nilai-nilai moral. Pandangannya ini dibangun atas dasar teori rasio praktis yang menunjukkan adanya imperatif kategoris dan atas dasar ketiga postulatnya: kebebasan kehendak, imoralitas jiwa dan adanya Allah. Walaupun ini dibantah oleh Hegel dengan teori dialektikanya dimana Hegel mengangkat seni ke dalam roh absolut dan moralitas ke dalam roh obyektif. Namun menurut Nietzche Hegel pun sama saja dengan Kant karena keduanya menyajikan filsafat yang bertujuan untuk membenarkan moralitas. Nietzsche juga menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi Ilahi. Moralitas ini berakar pada iman seperti yang diajarkan oleh agama wahyu. Nietzche mengkritik bahwa aliran ini gagal mempertanyakan premis dasarnya, melainkan juga menyerahkan filsafat pada Agama. Ia menyelidiki nilai-nilai moral dengan bertolak dari nilai-nilai seni.[29] Pandangannya ini didasarkan pada dua semangat yaitu semangat Apolonian dan Dionisian.[30] Nietzsche mengkritik nilai-nilai moral dan dia tidak mengakui adanya nilai-nilai moral, melainkan moral itu adalah seni. Maka nilai moral tidak berlaku dalam hidup ini, kebebasan hidup ini terwujud dari nilai seni itu sendiri dan melepas diri dari kungkungan moral, dengan kata lain orang yang bermoral berarti orang yang tidak bebas atau seperti dipenjara.[31]

D. Konsep Moral dalam Pandangan Islam (Sebuah Perbandingan)

Islam mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Menurut konsep Islam, ajaran keesaan Tuhan berakibat adanya kesatuan umat manusia. Islam tidak menekankan umat manusia itu seragam denagn segala aspek dan seginya. Tetapi Islam menegaskan perbedaan bahasa, warna kulit, tata cara hidup masing-masing suku bangsa, dan kelompok umat manusia adalah tanda dari kekuasaan Tuhan. Pada prinsipnya dengan kepercayaan kepada keesaan Tuhan, umat manusia adalah satu.[32]

Begitu halnya pada masalah moral, walaupun bangsa-bangsa dan kelompok umat manusia berbeda-beda kebiasaan dan tata cara hidupnya, tapi harus ada satu ukuran moral yang objektif bagi mereka itu. Islam menekankan semua umat manusia adalah satu, maka ukuran moralnya harus satu pula. Islam hanya memberlakukan satu kode moral untuk seluruh umat manusia, tanpa memandang suku, ras, bahasa dan cara hidup. Tegasnya, bagi Islam hanya ada satu kode moral untuk semua orang. Islam tidak menoleransi adanya ukuran moral yang dualistik, seperti yang dibedakan Neitzche dengan memberlakukan ukuran moral bagi bangsa tuan dan ukuran moral bagi bangsa budak, sebagai halnya Islam tidak membedakan ukuran moral bagi masyarakat desa dan masyarakat kota.

Dengan dinyatakannya oleh Allah bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah sempurna, menjadi jelas nilai-nilai moral dalam Islam telah sempurna pula. Nilai moral dalam Islam bersumber dari bimbingan Tuhan yang mutlak dan absolut, mengatasi rasio, intuisi, dan pengalaman manusia. Kesempurnaan nilai-nilai moral Islam itu terwujud dalam bentuk yang permanen, final, dan mengatasi ruang dan waktu. Oleh sebab itu, moralitas dalam Islam tidak berubah-ubah sejak berlaku 15 abad yang silam sampai memasuki babak dunia modern ini dan sampai akhir zaman.

Karena nilai moral dalam Islam tidak terbatas pada ruang dan waktu dan tidak tunduk kepada ruang dan waktu. Dengan mendasarkan pada wahyu Ilahi dan sunah Rasulullah saw., sebagai sumber pokok dan utama dari pengetahuan manusia, Islam sesungguhnya telah meletakkan sifat keabadian dan keadilan pada nilai-nilai susila. Mengutip pemikiran Abdul A'la Maududi, ciri khas susunan kesusilaan Islam itu adalah sebagai berikut. Pertama, Dengan menjadikan mardatillah (keridaan Allah) sebagai tujuan kehidupan manusia, Islam memberikan ukuran moral yang paling tinggi yang dapat dicapai. Dan memberikan wahyu Ilahi sebagai sumber pengetahuan yang pokok, Islam memberikan ketetapan dan kestabilan dalam standar moral. Kedua, Islam tidak memberikan sifat terpuji moral yang baru, dengan perantara rasa keorisinalan dan pembauran yang palsu. Ketiga, Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan suatu sistem kehidupan dengan segala kebaikan dan bebas dari segala kejahatan.[33]


III. Penutup

Kesimpulan

1. Semua pemikiran Hegel berangkat dari sistem pemikirannya yang mencoba mencari jalan keluar, atau bahkan mempertentangkan dua persoalan yang berbeda dan berseberangan. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran)dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Dialektika Hegel memiliki karakter membangun dan evolusioner, yang tujuan akhirnya adalah penyempurnaan seutuhnya.

2. Menurut Hegel moralitas tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai mutlak yang ada dalam idea, tapi juga tidak lepas dari apa yang ada di dunia empiris, yang ada dalam masyarakat! Kebebasan manusia bukan sekadar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakikat seluruh kerangka sosial di dalamnya manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu hukum, moralitas individu, dan tatanan sosial-moral (sittlichkeit). Moralitas dalam pandangan Hegel adalah sintesa antara hukum yang bersifat empirik dengan nilai-nilai moral yang bersifat batin atau ideal. Sehingga dalam pandangan Hegel, negara, keluarga dan masyarakat dianggap sebagai idea moral yang telah terealisir, tempat idealitas atau nilai-nilai dan realitas atau hukum-hukum bertemu.

3. Islam menekankan semua umat manusia adalah satu, maka ukuran moralnya harus satu pula. Islam hanya memberlakukan satu kode moral untuk seluruh umat manusia, tanpa memandang suku, ras, bahasa dan cara hidup. Tegasnya, bagi Islam hanya ada satu kode moral untuk semua orang. Islam memberikan ukuran moral yang paling tinggi yang dapat dicapai. Dan memberikan wahyu Ilahi sebagai sumber pengetahuan yang pokok, Islam memberikan ketetapan dan kestabilan dalam standar moral.

DAFTAR PUSTAKA

Alafson, Frederiks. “Jean-Paul Sartre”, dalam Edwards, Encyclopedia of Philosopfy. New York, Macmillan Publishing, 1967.

A. Reyburn , Hugh. The Ethical Theory of Hegel: A Study of the Philosophy of Right. Oxford: Clarendon Press, 1921.

Bertens, Etika. Jakarta, Gramedia, 1997.

Desiawan, Masdar. Kritik Nietzsche Terhadap Nilai Moral. Jakarta: Binsat Kammi Daerah Jakarta.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat-2. Yogyakarta, Kanisius, 1988.

Harb, Ali. At-Ta’wil wa al-Haqi’a>t Ta’wi>liyyah fi ats-Tsaqa>fah al-‘Arabiyyah terj. Sunarwoto Dema, Hermeneutika Kebenaran. Yogyakarta: LKiS, 1993.

http://plato.stanford.edu, 2008.

Junianto, Ibnu. Islam di Tengah Perubahan Nilai-Nilai Moral. Lampung Post; Member of Media Groups, Jumat 17 Desember 2004.

L. Yjahjadi, Simon Petrus. Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan (Dari Decrates sampai Whitehead). Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Liputo, Yuliani (Tim Penulis Rosda), Kamus Filsafat, Bandung: Rosda Karya, 1995.

Miskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Ilyas Hasan. Bandung, Mizan, 1994.

O.Kattsoff, Louis. Element Of Philosophy, terj. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.

Poole, Ross. Moralitas dan Modernitas, 101. Dalam tulisan Hegel sendiri, lihat Hegel, System of Ethical Life and First Philosophy of Spirit, dalam Harris and Knox (edit & transl). (Albani, State Universiti of New Yirk Press, 1979.

Praja, Juhya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media, 2005.

Salam, Burhanuddin. Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia). Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

Schneewind. “Modern Moral Philasophy”, dalam Peter Singer (ed), A. Companion to Ethics. Massachusetts, Blackwell Publishers Inc, 1997.

Suseno, Franz Magnis, 13 Model Pendekatan Etika. Yogya, Kanisius, 1997.

,. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta, Kanisius, 1997.

, Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1998

Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas http//:www.Georg_Wilhelm_ Friedrich_ Hegel.htm, diakses tanggal 10 Mei 2009.



[1] (Burhanuddin Salam, Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia) (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hal. 3.

[2] Ibnu Junianto. Islam di Tengah Perubahan Nilai-Nilai Moral (Lampung Post; Member of Media Groups, Jumat 17 Desember 2004).

[3] Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas http//:www.Georg_Wilhelm_ Friedrich_ Hegel.htm, diakses tanggal 10 Mei 2009.

[4] http://plato.stanford.edu, 2008

[5] Ibid.,

[6] Simon Petrus L. Yjahjadi, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan (Dari Decrates sampai Whitehead), (Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 73.

[7] Ibid.,

[8] http://plato.stanford.edu, 2008., Loc.cit.,

[9] Dialektika, pada asal katanya berarti dialog, diskusi atau debat, dimana tujuan utamanya adalah untuk membentah argumen-argumen lawan, atau mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema atau paradoks-paradoks. Lebih jelas dalam persoalan ini, lihat Yuliani Liputo (Tim Penulis Rosda), Kamus Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1995), 78.

[10] Ibid.,

[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta, Kanisius, 1988), h. 101.

[12] Ali Harb, At-Ta’wil wa al-Haqi’a>t Ta’wi>liyyah fi ats-Tsaqa>fah al-‘Arabiyyah terj. Sunarwoto Dema, Hermeneutika Kebenaran (Cet.I; Yogyakarta: LKiS, 1993), h. 188.

[13] Ibid., h. 100.

[14] Juhya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 20-21.

[15] Bertens, Etika, (Jakarta, Gramedia, 1997), 6-7

[16] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta, Kanisis, 1997), 126.

[17] Ibid, 137-158. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogya, Kanisius, 1997), 151-173.

[18] Frederiks Alafson, “Jean-Paul Sartre”, dalam Edwards, Encyclopedia of Philosopfy, (New York, Macmillan Puclishing, 1967), Vol 7-8, h. 287-288.

[19] Schneewind, “Modern Moral Philasophy”, dalam Peter Singer (ed), A. Companion to Ethics, (Massachusetts, Blackwell Publishers Inc, 1997), h. 537

[20] Franz Magnis Suseno, Op Cit, 151

[21] Ibid, 156.

[22] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Ilyas Hasan, (Bandung, Mizan, 1994), h. 98-99.

[23] Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 104.

[24] Ajaran teleologis adalah sebuah teori yang mengajarkan bahwa perbuatan-perbuatan kesusilaan berusaha mencari serta menemukan kebahagiaan atau kenikmatan. dikatakan bersifat teleologis karena pengukuran baik buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Hendaknya dicatat, yang dinamakan tujuan dapat apa saja. Tujuan dapat pula dimisalkan, berupa keselamatana abadi. sementara teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan bersifat hedonistik. Louis O.Kattsoff, Element Of Philosophy, terj. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat (Cet.VII; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), hal. 359.

[25] Hugh A. Reyburn . The Ethical Theory of Hegel: A Study of the Philosophy of Right. (Oxford: Clarendon Press, 1921), h. 185.

[26] Sittlichkeit diartikan Frans Magnis Suseno sebagai tatanan sosial-moral. Lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis., Loc.cit.,

[27] Franz Magnis-Suseno, op.cit., h. 105-116.

[28] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, 101. Dalam tulisan Hegel sendiri, lihat Hegel, System of Ethical Life and First Philosophy of Spirit, dalam Harris and Knox (edit & transl), (Albani, State Universiti of New Yirk Press, 1979), 20.

[29] Masdar Desiawan, Kritik Nietzsche Terhadap Nilai Moral (Jakarta: Binsat Kammi Daerah Jakarta), 26 April 2009.

[30] Semangat Apolonian mencerminkan aspek kejeniusan orang-orang yunani, kekuatan untuk menciptakan keharmonisan dan keindahan, prinsip individuasi, daya yang mampu memberi bentuk dan simbol cahaya, ukuran serta hambatan. Hasil kesenian yang diwarnai semangat ini adalah mitologi, ceritera-ceritera plastis dan patung. Disini orang mau menutup kenyataan dengan hal-hal yang indah dan penuh seni. Semangat Dionisian adalah simbol kegilaan atau arus hidup itu sendiri yang mengancam untuk merusak semua bentuk dan norma, nafsu tak terpendamkan yang melampaui semua pembatasan, sikap menyerah yang kadang-kadang kita rasakan ketika mendengarkan musik. (Sumber bacaan dan tulisan : Nietzsche karya: ST. Sunardi).

[31] Ibid.,

[32] Firman Allah Q.S. Ar Rum 22 berbunyi, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah yang menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui".

[33] Ibnu Junianto. Loc cit.,

0 komentar:

Posting Komentar

selamat datang