Kamis, 18 Juni 2009

Maani Syariah, Fiqh dan Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber dan rujukan pertama bagi syariat, karena terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global dan diiringi dengan kehadiran sunnah yang berfungsi untuk menjelaskan pokok-pokok hukum dan merincinya dengan sempurna.

Fiqh merupakan bagian dari entitas kehidupan di dunia Islam dan menjadi salah satu subyek dalam pengkajian Islam, baik di Indonesia maupun di dunia pada umumnya. Oleh karena itu, fiqh dituntut untuk dikembangkan, agar bidang ilmu itu memiliki makna bagi pengembangan ilmu dan pengembangan keahlian, untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.

Pengembangan ilmu fiqh berasas kesinambungan dan perubahan (continuity and change).[1] Bertitik tolak dari yang tersedia dan merumuskan kreasi baru untuk memenuhi kebutuhan masa depan. Hal itu dapat dilakukan dengan merujuk kepada kaidah: al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shahih wa al-akhdz bi al-jadid al ashlah. Memelihara tradisi lama yang dipandang baik dan mengembangkan tradisi baru yang dipandang lebih baik, dengan demikian pengembangan ilmu fiqh dapat dikembangkan dalam berbagai unsur ilmu, yakni unsur substansi, informasi dan metodologi.

Dalam hal yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, penjelasan Rasulullah terhadap ayat-ayat al-Quran sangat terikat pada dinamika kultural kemasyarakatan. Sehingga penjelasannya perlu dilanjutkan melalui pengkajian-pengkajian yang sifatnya ijtihadi. Produk-produk inilah yang selanjutnya disebut fiqih.

Apa-apa yang dikehendaki oleh Allah berkenaan dengan tindak perbuatan manusia itu yang dikenal dengan hukum syara’. Kehendak Allah itu dapat kita temukan dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut al-Quran dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadis/sunnah. Hukum syara’ yang merupakan kehendak Allah itu pada umumnya merupakan pedoman pokok yang berbentuk petunjuk yang bersifat umum dan garis-garis besar menurut apa adanya belum dapat dilaksanakan secara amaliah. Supaya kehendak Allah tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan praktis, petunjuk Allah tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk petunjuk operasional secara rinci dan mudah diamalkan (fiqh). Dan selanjutnya dijewantahkan dalam peraturan pelaksanaan dari syariah. Dengan demikian, kajian tentang fiqh berkaitan erat dengan kajian tentang syariah, untuk selanjutnya diimplementasikan dalam wujud pengamalan hukum.[2]

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, untuk penyajian teori peraturan hidup dalam rangka mengerti lebih baik tentang makna Syariah, Fiqh dan Hukum, maka dapat diangkat garis besar pokok masalah yakni:

  1. Bagaimana memaknai Syariah, Fiqh dan Hukum?
  2. Bagaimana Sejarah dari Fiqh itu sendiri?
  3. Bagaimana sumber perumusan fiqh itu?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Syariah

Karena fiqh berkaitan erat dengan syariah atau bahkan syariah merupakan induk dari fiqih, maka sebelum membicarakan pengertian fiqh terlebih dahulu dijelaskan arti syariah itu.

Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-'Arab menyatakan:


والشر يعة واشراع والمشرعة : المواضع التي ينحدر إلى الماء منها

"Kata al-syarii'ah, al-syarraa', dan al-masyra'ah bermakna al-mawaadli'
allatiy yunhadaru ila al-maa' artinya: tempat-tempat yang darinya dikucurkan air.
Berkata al-Laits, al-syarii'ah dinamakan juga dengan syariat yang
disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba, mulai dari puasa, shalat,
haji, nikah dan sebagainya. Sedangkan kata al-syir'ah dan al-syir'ah, menurut bahasa Arab artinya adalah مشرعة الماء )masyra'at al-maa'( yang berarti sumber air, yakni:

مورد الشاربة التي يشرعها الناس فيشربون منها ويستقون

maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[3]

Secara leksikal kata Syariah berasal dari bahasa Arab yang berarti “jalan yang harus diikuti” atau “jalan menuju sumber mata air”. Pada dasarnya Syariah merupakan jalan mencapai keridhaan Allah, serta merupakan petunjuk bagi seluruh ummat manusia. Kata syariah atau yang se-akar dengan itu muncul beberapa kali dalam al-Quran seperti dalam:

Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].

“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ila sh shiraathil mustaqiimi.” Artinya hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.[4]

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.[5]

Terkadang syariah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).

Dari ayat al-Quran tersebut di atas, “agama” ditetapkan Allah untuk manusia yang disebut “syariat” dalam arti lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupan di dunia. Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah itu ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia. Di antara para pakar hukum Islam memberikan definisi syariah yakni: Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan agama sebagaimana disinggung Allah dalam Surat al-Syura ayat 13, kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliyah, karena agama pada hakikatnya berlaku universal sementara syariah diberlakukan untuk masing-masing umat yang kemungkinan berbeda dengan umat sebelumnya.[6] Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.

2. Pengertian Fiqh

Al-fiqh = paham yang mendalam. Salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.

Secara semantic kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik”.[7] Sedang menurut istilah fiqh adalah:

الفقه هو العلم بالاحلكام الشرعية العملية المكسب من أدليها التفصيلية

Artinya:

Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah yang dikaji dari dalil-dalil terperinci.[8]

Selain itu terdapat beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Fiqh di zamannya dan di zaman sebelumnya masih dipahami secara luas, mencakup bidang ibadah, muamalah dan akhlak. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas, ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci. Definisi tersebut dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang. [9]

Ulama usul fiqh menguraikan kandungan definisi ini sebagai berikut:

  1. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah (az-Zari'ah);
  2. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah, yaitu Kalamullah/Kitabullah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah untuk berbuat, larangan, pilihan, maupun yang lainnya. Karenanya, fiqh diambil dari sumber-sumber syariat, bukan dari akal atau perasaan;
  3. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah. Atas dasar itu, hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk fiqh, karena fiqh adalah hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh dari proses istidlal atau istinbath (penyimpulan) dari sumber-sumber hukum yang benar; dan
  4. Fiqh diperoleh melalui dalil yang tafsili (terperinci), yaitu dari Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, qiyas, dan ijma' melalui proses istidlal, istinbath, atau nahr (analisis). Yang dimaksudkan dengan dalil tafsili adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum tertentu. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 43: "...dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat..." Ayat ini disebut tafsili karena hanya menunjukkan hukum tertentu dari perbuatan tertentu pula, yaitu shalat dan zakat adalah wajib hukumnya. Dengan demikian menurut para ahli usul fiqh, hukum fiqh tersebut tidak terlepas dari an-Nusus al-Muqaddasah (teks-teks suci). Karenanya, suatu hukum tidak dinamakan fiqh apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal atau istinbath kepada salah satu sumber syariat.[10]

Berdasarkan hal tersebut, menurut Fathi ad-Duraini (ahli fiqh dan usul fiqh dari Universitas Damascus), fiqh merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan metode usul fiqh. Sedangkan istilah fiqh di kalangan fuqaha mengandung dua pengertian, yaitu:

1. Memelihara hukum furu' (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya; dan

2. Materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath'i (pasti) maupun yang bersifat dzanni (relatif) (Qath'i dan Zanni).

Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh dari Yordania), fiqh meliputi:

1. Ilmu tentang hukum, termasuk usul fiqh; dan

2. Kumpulan hukum furu'.

Sejarah Fiqih

Masa Nabi Muhammad saw

Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalahan aqidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan shalat, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan,[11] walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Masa Khulafaur Rasyidin

Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah di tangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.[12]

Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.[13]

Masa Awal Pertumbuhan Fiqih

Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriyah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan Ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.

Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fiqih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.[14]

Sumber Perumusan Fiqh

Yang dimaksud dengan sumber di sini adalah apa saja yang dijadikan bahan rujukan ulama dalam merumuskan fiqh. Dalam hal ini terdapat sumber fiqh yang disepakati dan sumber fiqh yang masih diperselisihkan:[15]

a. Sumber fiqh yang disepakati

· Al-Quran al-Karim

· Sunnah Nabi

· Ijma’ Ulama

· Qiyas

b. Sumber fiqh yang masih diperselisihkan

· Istihsan

· Al-Maslahat al-Mursalah

· Al-Istishab

· Urf atau adat

· Qaul Shahabi

· Syara’ umat sebelum Islam

· Saad al-Zari’ah

3. Pengertian Hukum

Perkataan hukum dari segi bahasa berasal dari akar kata ح ,ك , م (حكم), yang berarti “mencegah” atau “menolak”. Mencegah ketidaka adilan, kecaliman dan penganiayaan disebut hukum (الحكم).[16]

Al-Ahkam ( الأحكام ) adalah bentuk jamak dari hukum (حكُمٌ), secara bahasa maknanya adalah keputusan/ketetapan ( القَضَاءُ ). Dan secara istilah:

خطاب اشارع المتعلق بالإقتضاء طلبا أوتخييرا أو وضعا

"Firman pembuat syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadl’iy (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum".[17]

  • "seruan syari'at" : Al-Qur'an dan as-Sunnah.

· "yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf": apa-apa yang berhubungan dengan perbuatan, baik itu masih perkataan atau perbuatan, melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Maka apa-apa yang tidak berhubungan dengan aqidah, maka tidak dinamakan hukum secara istilah.

  • "mukallaf" : siapa saja yang keadaannya dibebani syari'at, maka mencakup anak kecil dan orang gila.
  • "dari tuntutan": perintah dan larangan, baik itu sebagai keharusan ataupun keutamaan.
  • "atau pilihan": mubah (hal-hal yang dibolehkan)
  • "atau peletakan": Sah, rusak,
  • dan yang lainnya yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan.[18]

Hukum syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi ‘alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’.[19]

Contoh hukum syara’, perintah langsung Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.

Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.

Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak.

Yang dimaksud dengan wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan.[20]

Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

1. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.[21]

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97].

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].

Contoh hukum yang menunjukkan boleh pilih (mubah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].

Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.[22]

Azimah meliputi berbagai macam hukum[23], yaitu:

a. Wajib. Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya, puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]

b. Haram. Haram adalah sesuatu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.

c. Mandub (sunnah). Mandub adalah permintaan syari’ untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan permintaan yang tidak tegas, atau sesuatu perbuatan dimana pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, atau perbuatan di mana pelakunya terpuji sedang meninggalkan tidak tercela menurut syara’, atau yang lebih baik/rojih melakukannya dan boleh meninggalkannya.[24]

d. Makruh. Makruh adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.

e. Mubah. Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.) antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu tidak ada yang diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan minumlah kamu sekalian.” Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa, dan tidak ada celaan atas berbuat atau meninggalkan perbuatan yang dimubahkan.

2. Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesuatu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.[25]

· Sebab, sesuatu yang nampak dan jelas yang dijadikan oleh Syari’ sebagai penentu adanya hukum.

Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu.

· Syarat adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Dan kalau syarat tidak terpenuhi, maka perbuatan taklifnya secara hukum tidak terwujud.

Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.

· Mani’ adalah suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum yang lain. Adanya mani’ tersebut membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat dijalankan. Dengan demikian, maka mani’ tidak lebih dari sebab yang dapat menghalangi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum, atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum.

Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah. Contoh lainnya adalah seperti nishab itu merupakan sebab diwajibkannya seseorang membayar zakat, namun kalau pemilik barang itu mempunyai hutang senilai nishab, atau mengurangi jumlah nishab, maka dia tidak wajib membayar zakat. Dengan demikian hutang itulah yang dimaksud dengan mani’ sekaligus menjadi sebab yang merintangi pelaksanaan pembayaran zakat.

Perbedaan Antara Hukum Taklify dan Wadh’i

1. Hukum taklify dimaksudkan untuk menuntut/melarang atau membolehkan pemilihan sesuatu perbuatan sedangkan hukum wadh’i hanya menjelaskan sesuatu itu adalah sebab, syarat atau mani’

2. Hukum taklify selalu dalam batas-batas kemampuan mukallaf sesuai dengan keadilan tuntutan/taklif, sedangkan hukum wadh’i tidak selamanya ada dalam kemampuan mukallaf.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Syariah secara umum adalah aturan-aturan Tuhan yang meliputi Aqidah, Akhlak yang termuat dalam al-Quran dan hadis, Fiqh adalah pemahaman ulama terhadap teks-teks tersebut (kemungkinan berbeda pendapat menyangkut cara pelaksanaannya), sedangkan hukum adalah Firman Allah yang berkaitan dengan perintah, larangan, sebab akibat.

2. Sumber-sumber syariah adalah Al-quran dan hadis, sumber fiqh adalah al-Quran, hadis, ijma dan qiyas.

3. Pada dasarnya, syariat Islam bila diterapkan secara kaffah akan membawa maslahat bagi umat manusia. Kemaslahatan datang ketika hukum Islam diterapkan, bukan sebaliknya, penetapan dan penerapan hukum Islam tergantung ada tidaknya kemaslahatan.

DAFTAR PUSTAKA

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003

Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8

http://dakwatuna.com.htm-mengenal syariat islam (bagian 1) _ dakwatuna.com.htm/

Drs. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.

Pustaka CyberMQ, http//m.cybermq.com-terminologi-ilmu-fiqh.htm.

Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, (Kuwait : Univ. Kuwait).

http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116.html.

Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah).

Dr. H. Hamka Haq, MA. Falsafat Ushul Fihi. Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998.

Prof. Drs. H.A. Djazuli dan Dr. I. Nurol Aen, M.A., Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 2000.

Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, http://tholib.wordpress.com.

MAANI SYARIAH, FIQH, HUKUM

Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas

Mata Kuliah ‘Ushul Fiqh

Oleh:

ABU MUSLIM

Nim: 80100208046

Dosen Pemandu:

Dr. Abd. Rauf M. Amin, Lc., MA

Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, Lc., MA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2009



[1] Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh (Cet. 1; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. iii.

[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 1 - 2.

[3] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175.

[4] http://dakwatuna.com.htm-mengenal syariat islam (bagian 1) _ dakwatuna.com.htm/

[5] Ibid.,

[6] Prof. Dr. Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 2-4.

[7] Drs. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III) (Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 6.

[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), h. 6.

[9] Pustaka CyberMQ, http//m.cybermq.com-terminologi-ilmu-fiqh.htm

[10] Ibid.,

[11] Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, (Kuwait : Univ. Kuwait), hal. 43

6. Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah), I, hal. 12

[14] Loc. Cit.,

[15] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, op. cit., h. 10 - 11

[16] Dr. H. Hamka Haq, MA. Falsafat Ushul Fihi (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h. 9.

[17] Prof. Drs. H.A. Djazuli dan Dr. I. Nurol Aen, M.A., Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam) (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 2000), h. 15.

[18] Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, http://tholib.wordpress.com

[19] http://dakwatuna.com, ibid.,

[20] Ibid.,

[21] Drs. Dede Rosyada, op.cit, h. 17 – 18.

[22] Ibid.,

[23] Ibid., h. 18 – 24.

[24] Prof. Drs. H.A. Djazuli dan Dr. I. Nurol Aen, M.A. op. cit., h. 29.

[25] Ibid., h. 26.

0 komentar:

Posting Komentar

selamat datang