Senin, 15 Juni 2009

Pertimbangan Pembuktian Dengan IPTEK

Oleh: Abu Muslim

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang seiring dengan perkembangan pola berfikir umat manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai naluri ingin tahu, ingin mengenal, ataupun berkomunikasi. Inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil menemukan dan menciptakan antara lain telepon, handphone, komputer dan internet. Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, maka manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di dunia ini dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Inilah yang dikenal orang dengan sebutan dunia maya atau cyber space. Perkembangan teknologi informasi ini banyak manfaat yang positif dalam memudahkan umat manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan melalui dunia cyber, seperti: e-travel yang berhubungan dengan pariwisata, e-banking yang berhubungan dengan perbankan electronic mail atau e-mail, e-commerce yang berhubungan dengan perdagangan.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi disamping memberi manfaat bagi kemaslahatan masyarakat, di sisi lain memiliki peluang untuk digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai korbannya. Dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara negatif dapat menyebabkan runtuhnya sistem tatanan sosial, lumpuhnya perekonomian nasional suatu negara, lemahnya sistem pertahanan dan keamanan serta juga dapat memiliki peluang untuk digunakan sebagai alat teror.

Teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.[1] Secara garis besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.[2]

Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital. Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware). Untuk selanjutnya, pembahasan ini akan menjelaskan bagaimana penggunaan teknologi dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan penggunaan alat bukti dengan teknologi dalam persidangan. Selain itu dari pembahasan ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat bukti yang ada.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam pembahasan makalah ini adalah: Bagaimana pertimbangan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses pembuktian?. Dari masalah pokok ini, dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana memahami teknologi itu?
  2. Penjelasan mengenai perkembangan pembuktian dalam peradilan Islam dan Hukum Positif.
  3. Bagaimana kedudukan teknologi dalam pertimbangan pembuktian pada proses persidangan?
  4. Bagaimana penerapan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik terkait penyelenggaraan sistem elektronik berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Sistematika Pembahasan

Makalah ini membahas tentang pertimbangan pembuktian dengan Iptek dalam proses persidangan. Adapun sistematika pembahasannya yakni: bagian pertama pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah serta sistematika pembahasan. Bagian kedua pembahasan menguraikan tentang Iptek dan penjelasan tentang perkembangan pembuktian dalam peradilan Islam dan hukum Positif serta kedudukan teknologi dalam pertimbangan pembuktian pada proses persidangan, juga membahas mengenai Bagaimana penerapan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik terkait penyelenggaraan sistem elektronik berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bagian ketiga, penutup yang menyajikan kesimpulan dan implikasi dari makalah.

II. PEMBAHASAN

A. Defenisi Teknologi

Sebelum terlalu jauh membahas permasalahan di atas, penulis terlebih dahulu akan memaparkan pengertian teknologi, secara etimologi, istilah “teknologi” dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, yaitu “technology” yang berarti: 1). Scientific study and use of mechanical arts and apllied sciens, eg. Engineering, 2). Application of this practical taks in industry, ect: recent advances in medical technology, technology of computers.[3]

Dari defenisi tersebut dapat dipahami: Pertama, teknologi adalah scientific study yang berarti kajian, telaah, penelitian yang sistematis, ilmiah. Dengan kata lain, teknologi adalah “ilmu” dalam pengertiannya yang sangat luas. Kedua, teknologi berarti “mechanical arts”; alat-alat bermesin. Ketiga, teknologi berarti “applied science”; ilmu-ilmu terapan atau ilmu-ilmu praktis. Keempat, teknologi berarti “application of this to practical task”; aplikasi dari ilmu, dan alat-alat untuk kepentingan atau pekerjaan harian. Dengan demikian, teknologi bukanlah sekadar alat-alat bermesin. Lebih dari itu, teknologi adalah ilmu dan bagaimana alat-alat bermesin itu diaplikasikan.[4]

Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pemaknaan teknologi yang dikemukakan Armahedi Mazhar, yang menjelaskan bahwa teknologi itu benda abstrak seperti yang terbayang pada namanya. Sepeti logi-logi lainnya, ia adalah sejenis ilmu. Tepatnya, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia.[5]

Dalam kamus besar bahasa Indonesia terdapat dua pengertian teknologi, yakni: 1). Metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan. 2). Keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.[6]

Dari beberapa defenisi tersebut, menurut hemat penulis dapat disimpulkan beberapa isyarat penting tentang teknologi. Pertama, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis. Kedua, teknologi berkaitan erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan penciptaan dan penerapan teknologi adalah untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Keempat, teknologi itu, seperti saudaranya yang bernama sains, adalah “makhluk netral” dan akan terus berkembang.

Untuk lebih menfokuskan pembahasan kita, sebagai bahan pertimbangan terdapat beberapa defenisi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi infomasi yang termaktub dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[7] antara lain sebagai berikut:

a. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

b. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

c. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.

d. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

e. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

B. Perkembangan Pembuktian dalam Peradilan Islam dan Hukum Positif

  1. Berbagai Peristiwa Hukum Pembuktian dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah peradilan Islam jauh sebelum pembakuan hukum secara tertulis, telah terdapat cikal bakal proses pembuktian. Sebagaimana yang dikisahkan dalam alquran tentang kasus Yusuf dan Zulaikha (isteri Qitfir), Ketika Qitfir, suami Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf untuk berbuat mesum tetapi Nabi Yusuf tidak mau, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju pintu untuk keluar dari rumah. Tiba di pintu, baju Nabi Yusuf ditarikkan oleh Zulaikha dari belakang sehingga koyak, dan tepat waktu itu suaminya tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu kepada suaminya bahwa Nabi Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat mesum. Pada saat yang kritis itu, bersuara (berkatalah) seorang bayi (yang masih dalam buaian) dari keluarga Zulaikha: “Jika baju Yusuf koyak di bagian depan berarti Yusuflah yang salah, tetapi jika koyak di bagian belakang berarti Yusuflah yang benar”. Lantas suami Zulaikha melihat kepada baju Yusuf, ternyata koyak di bagian belakang, berarti Yusuflah yang benar. Lalu Yusuf disuruh rahasiakan hal itu ke luar (karena malu) dan Zulaikha disuruh oleh suaminya untuk bertobat dan meminta ampun kepada Allah.[8]

Nabi Muhammad saw. pernah pula menggunakan qari<nah (alat bukti persangkaan)[9] dalam beberapa hal, di antaranya memberikan barang hilang yang diketemukan kepada orang yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari barang itu.[10] Di masa Khalifah Umat ibn Khattab, penggunaan alat bukti keterangan ahli pernah dilakukan dalam sebuah perkara pemfitnahan yang diajukan ke depan sidang pengadilan Khalifah oleh Zibriqan bin Bard terhadap seorang penyair Hutaya, yang menuduh bahwa salah satu syairnya yang diciptakan oleh penyair itu merupakan sebuah fitnah. Karena tuduhan tentang pemfitnahan itu berkaitan dengan syair, maka Khalifah mengundang penyair lain dan meminta pendapatnya tentang masalah itu, dan kemudian ia memutuskan kasus menurut pendapat ahli tersebut.[11]

Sementara pada masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib, pembuktian dapat dilihat pada salah satu kasus yakni ketika Khalifah kehilangan pakaian perangnya yang terbuat dari besi dalam perjalanannya ke Shiffin. Setelah perang selesai dia kembali ke al-Kufah, dan di sana beliau melihat baju besinya di tangan seorang Yahudi. Khalifah Ali Ibn Abi Thalib kemudian berkata kepada Yahudi itu, “Baju itu milikku, saya tidak pernah menjual maupun membuangnya”. Yahudi itu pun menjawab, “Tidak, ini baju besiku dan ini milikku”. Kemudian mereka berdua pergi ke pengadilan Shurayh. Shurayh berkata, “Silahkan ya Sahabat!” Khalifah kemudian berkata, “Ya, baju besi yang berada di tangan Yahudi itu adalah milikku, aku tidak pernah menjual atau mendermakannya”. Kemudian Shurayh pun berkata, “Apa katamu wahai Yahudi?” Yahudi itu menjawab, “Ini adalah bajuku dan menjadi milikku”. Shurayh bertanya lagi, “Wahai sahabat Nabi, punyakah engkau bukti untuk itu?” Khalifah menjawab, “Ya, saksinya adalah Kambar dan al-Hasan”. Shurayh menjawab, “Bukti dari seorang anak untuk kepentingan ayahnya tidak dapat diterima”. Dan kemudian keputusan ternyata merupakan kemenangan bagi Yahudi. Melihat hal ini, Yahudi menyatakan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, dan bahwa baju besi ini adalah baju besimu”.[12]

  1. Alat Bukti dan Pembuktian

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.

Di dalam kitab-kitab hukum Islam (fiqh) kebanyakan para ahli hukum Islam menyebut alat bukti dengan Al-Bayyinah yang berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar).[13]

Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fiqih. Adapun alat bukti yang disepakati oleh ulama fiqih adalah sebagai berikut:[14]

1. Kesaksian (asy-syaha>dah);

2. Ikrar (al-iqra>r), pengakuan dari pihak tergugat bahwa apa yang digugat oleh penggugat adalah benar;

3. Sumpah (al-yami>n);

4. Nuku>l (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam menguatkan haknya;

5. Qari>nah (indikasi yang menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran suatu gugatan);

6. Qasamah (sumpah yang dilakukan berulangkali oleh penggugat dalam kasus pembunuhan atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat di daerah sekitar tejadinya pembunuhan atau tempat kejadian perkara, yang bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka bukan pembunuhnya);

Sementara itu, dalam ketentuan hukum perdata, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka Pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak diperlukan untuk dibuktikan.[15]

Sebagaimana dalam pasal 1866 Burgelijke Wetboek, alat-alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri atas: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.[16] Di samping itu juga dikenal alat bukti keterangan ahli dan alat bukti pemeriksaan setempat.[17]

Asas pembuktian, dalam hukum Acara Perdata dijumpai dalam pasal 1865 Burgerlijke Wetboek, “Setiap orang yang medalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.[18]

Sedangkan dalam ketentuan hukum pidana, Pembuktian adalah: ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.[19]

Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.”[20]

Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, yang keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[21] adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.

Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law).[22]

Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini, penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan.[23]

C. Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek dalam Proses Persidangan

Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.[24]

Masalah pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Beberapa negara seperti Australia, Chili, China, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the People's Republic of China 1999[25] menyebutkan, "bukti tulisan" yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk,seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail.[26]

Sebenarnya ada satu hal yang patut dipertimbangkan dalam pengakuan suatu data elektronik. Sejauh mana keamanan suatu sistem dan keterlibatan dari orang terhadap sistem komputer tersebut. Karena biasanya, kejahatan dengan menggunakan komputer (internet) melibatkan orang dalam. Jika dilihat esensi dari transaksi yang dilangsungkan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak berkeberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional.

Sebagai bahan perbandingan, diperlukan sebuah contoh kasus pemanfaatan elektronik beserta proses yang memungkinkan penulusuran penggunaan alat bukti dalam pembuktian keontetikan suatu dokumen. Sebagai contoh; dapatkah e-mail dijadikan alat bukti di pengadilan? Dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan data elektronik, termasuk e-mail, belum diterima sebagai alat bukti di pengadilan jika terjadi sengketa. Dalam hukum positif Indonesia, penggunaan data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Padahal apa yang diperjanjikan atau apa yang terjadi secara virtual tersebut secara subtantif telah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

Misalkan perjanjian yang dilakukan secara elektronik melalui e-mail. Si A selaku penjual barang hendak menawarkan suatu barang dengan harga serta spesifikasi barang disertai klausul perjanjian mengenai tata cara penyerahan dan pembayaran harga. Kemudian si B hendak membeli barang dan tidak berkeberatan terhadap cara dan klausul yang ditawarkan oleh si A. Mereka bersepakat menjadikan e-mail tersebut sebagai alat bukti di pengadilan jika di kemudian hari terjadi sengketa.

Merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) mengenai syarat sahnya suatu perjanjian[27], perjanjian yang dilakukan antara A dan B di atas adalah sah. Pasalnya, suatu perjanjian harus didahului adanya kesepakatan (kata sepakat), kecakapan untuk membuat perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan sesuatu yang halal. Jika suatu perjanjian yang dilakukan telah memenuhi keempat syarat tersebut, perjanjian tersebut dinyatakan sah.

Lalu bagaimana jika suatu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan media internet. Apakah pasal tersebut bisa mengesampingkan kesepakatan dari para pihak. Satu hal yang mungkin dan perlu diingat bahwa perikatan yang diatur di dalam buku tiga KUHPerd sifatnya terbuka. Artinya, sepanjang para pihak menyepakati suatu perjanjian dilangsungkan secara elektronik dengan menggunakan e-mail sebagai bukti transaksi, perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah sah. Bukti elektronik tersebut jika dicetak memiliki nilai yang sama dengan alat bukti lainnya (yang ditentukan di dalam undang-undang).

Beberapa waktu lalu, telah diputus satu kasus pidana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang mengetengahkan bukti e-mail sebagai salah satu alat bukti. Dalam kasus tersebut, hakim memvonis terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara karena terbukti telah melakukan tindakan cabul berupa penyebaran tulisan dan gambar. Hakim kemudian menghadirkan saksi ahli untuk menjelaskan, apakah bukti e-mail tersebut bisa dimanipulasi. Keterangan ahli tersebut digunakan oleh hakim untuk memastikan apakah dalam transfer data melalui internet mail (e-mail) tersebut telah terjadi tindakan manipulatif. Setelah mendengar keterangan dari saksi ahli, kemudian hakim memutus terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 282 KUHP. [28]

Terlepas dari salah tidaknya terdakwa, hakim telah menggunakan nalarnya untuk menggunakan bukti tersebut. Jikapun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal baru. Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam urusan privat maupun publik.

Secara teknis, bila terdapat satu standar keamanan untuk memberikan jaminan keontetikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini menjadi penting, karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan e-mail tersebut. Dengan mengetahui siapa yang mengirimkan, tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan atau penuntutan.

Kemudian, penggunaan e-mail sebagai alat bukti di pengadilan juga bisa merujuk pada log yang berada pada ISP (Internet Service Provider) dan data RFC (request for comment). Selain itu, untuk lebih memudahkan perlu diperhatikan juga keberadaan tandatangan elektronik (electronic signature) dalam e-mail tersebut. Tanpa adanya tandatangan elektronik, mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa pengirim sebenarnya dari e-mail yang menjadi pokok sengketa. Artinya, dimungkinkan menggunakan lebih dari satu teknologi dalam melakukan otentikasi dari dokumen yang dikirim secara elektronik.[29]

D. Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik Terkait Penyelenggaraan Sistem Elektronik Berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Penggunaan bukti digital pada suatu proses peradilan telah dimungkinkan dengan adanya dasar hukum yang salah satunya adalah Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003[30] yang dipertegas dengan pemberlakuan undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun demikian, menurut Edmon Makarim, S. Kom., S. H., LL. M, secara umum paling tidak terdapat tiga hal yang harus diperhatikan pada keberadaan suatu informasi elektronik (arsip elektronik) terkait penggunaannya sebagai alat bukti digital, yaitu (i) substansi informasi; (ii) metodologi fiksasi dan media penyimpanan yang mengonkretkan bentuk dari informasi itu; serta (iii) identifikasi subjektifnya.[31]

Hal tersebut terkait dari subjektifitas informasi itu sendiri, sehingga semestinya suatu informasi baru dapat dipercaya jika jelas siapa subjek pengirimnya. Namun, apabila informasi tersebut merupakan hasil otomatisasi dari suatu sistem yang berjalan sebagaimana mestinya, maka informasi tersebut tidak perlu dipertanyakan unsur subjektifitasnya, melainkan hanya perlu membuktikan sistem yang menghasilkan informasi tersebut berjalan dengan baik.[32]

Begitu pula dalam penerapan bukti digital pada proses persidangan. Agar suatu bukti digital memiliki nilai otentik dan dapat digunakan sebagai alat bukti, bukti digital tersebut harus diperoleh dari suatu sistem elektronik yang dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik pada sistem elektronik tersebut.

Bila merujuk pada Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) pengaturan terkait penyelenggaraan sistem elektronik tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 15 UU ITE dijelaskan informasi dan transaksi elektronik diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya. Penjelasan Pasal 15 UU ITE menguraikan yang dimaksud andal adalah sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna; aman artinya sistem elektronik tersebut terlindungi baik secara fisik maupun non fisik; dan yang dimaksud dengan beroperasi sebagaimana mestinya adalah sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan sesuai spesifikasinya.

Untuk memenuhi standar yang ditentukan oleh Pasal 15 UU ITE, setiap penyelenggara sistem elektronik harus mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:[33]

  1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;
  2. Dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
  3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
  4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
  5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut;

Dengan demikian dapat disimpulkan, suatu informasi elektronik yang telah diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya, kemudian penyelenggara sistem elektronik telah mengoperasikan sistemnya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU ITE. Maka informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik yang dihasilkannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah pula, serta dapat digunakan sebagai perluasan alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara di Indonesia.

Dengan pemberlakuan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi ini, maka bertambahlah payung hukum dalam penerapan dan penggunaan bukti digital pada proses persidangan. Sehingga tidak terdapat lagi keraguan terkait otentifikasi dan integritas terhadap bukti digital, sepanjang perolehan bukti digital tersebut berasal dari sistem elektronik yang penyelenggaraan sistemnya telah secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

  1. Beberapa isyarat penting tentang teknologi. Pertama, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis. Kedua, teknologi berkaitan erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan penciptaan dan penerapan teknologi adalah untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Keempat, teknologi itu, seperti saudaranya yang bernama sains, adalah “makhluk netral” dan akan terus berkembang.
  2. Tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law).
  3. Secara teknis, bila terdapat satu standar keamanan untuk memberikan jaminan keontetikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan.
  4. suatu informasi elektronik yang telah diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya, kemudian penyelenggara sistem elektronik telah mengoperasikan sistemnya sebagaimana mestinya, maka informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik yang dihasilkannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah pula, serta dapat digunakan sebagai perluasan alat bukti dalam proses persidangan.

B. Implikasi

Dengan pemberlakuan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi, maka bertambahlah payung hukum dalam penerapan dan penggunaan bukti digital pada proses persidangan.

Setidaknya tidak ada lagi alasan yang memberatkan bagi hakim untuk tidak menerima data elektronik sebagai alat bukti dalam pengadilan. Sehingga hakim tidak perlu lagi ragu-ragu dalam mengambil keputusan sehubungan dengan pembuktian dengan data elektronis dan sudah selayaknya hakim dapat melakukan penemuan hukum atau melakukan penafsiran secara analogis atau ekstensif dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian atas permasalahan-permasalahan hukum yang timbul tetap dapat diambil keputusan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan.


DAFTAR PUSTAKA

A. Rasyid, Roihan., Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Ahmad Qadri, Anwar., Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah Pemerintahan Muslim. Yogyakarta: PL2PM, 1987.

Dahlan, Abdul Azis [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahannya (Al-Juma>natul ‘Ali< style=""> Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-III. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988.

HS, Hornby., Oxford Advanced Learner’s Dictionary, USA: Oxford University Press, 1989.

http://www.novexcn.com/contract_law_99.html, diakses pada tanggal 26 April 2009.

Indonesia., Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981.

________., Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, UU No. 15, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Mahzar, Armahedi., Teknologi dan Islam: Sebuah Refleksi Pengantar dalam Ahmad Y. Al-Hassan dan Ronald R. Hill, Technology and Illustrated History, terj. Yulianti Liputo, Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung: Mizan, 1993.

Makarim, Edmom., Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Mudiardjo, Rapin., Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan (http://www.iptek.net/sentra informasi iptek/Balai Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Balai IPTEKnet) BPPT , 2006), diakses pada tanggal 26 April 2009.

Pangaribuan, Luhut MP., Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat. Jakarta: Djambatan, 2005.

Pitoyo, Arif., Perlunya Penyempurnaan Hukum Pidana Tangani Cybercrime. , diakses 22 Januari 2007.

Prastowo, Bambang Nurcahyo., Dokumen elektronik www.depkominfo.go.id bagian regulasi undang-undang., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 (Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) tahun 2008.

Prints, Darwan., Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Sala>m Madku>r, Muhammad., Al Qada>’u fy al Isla>m. Mesir: Da>r an-Nahdah al Arabiyah, tt.

Sommeng, Sudirman., Pendidikan Islam dalam Perspektif Teknologi Pendidikan dalam Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, Jurnal Zaitun (Kajian Islam dan Kemasyarakatan) Volume 1 No. II April 2004. Makassar: Berkah Utami, 2004.

Subekti, R., Hukum Pembuktian. Jakarta: Pardnya Paramita, 1975.

Subekti, R [et al]., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek). Jakarta: Pradnya Paraminta, 2003.

Wahid, Abdul [et al]., Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Bandung: PT. Rafika Aditama, 2005.



[1] Abdul Wahid, dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung: PT. Rafika Aditama 2005), hal. 26.

[2] Arif Pitoyo, ”Perlunya Penyempurnaan Hukum Pidana Tangani Cybercrime”, , diakses 22 Januari 2007.

[3] Hornby HS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (USA: Oxford University Press, 1989), h. 1319.

[4] Sudirman Sommeng, Pendidikan Islam dalam Perspektif Teknologi Pendidikan dalam Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, Jurnal Zaitun (Kajian Islam dan Kemasyarakatan) Volume 1 No. II April 2004 (Makassar: Berkah Utami, 2004), h. 21.

[5] Armahedi Mahzar, Teknologi dan Islam: Sebuah Refleksi Pengantar dalam Ahmad Y. Al-Hassan dan Ronald R. Hill, Technology and Illustrated History, terj. Yulianti Liputo, Teknologi dalam Sejarah Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1993), h. 17.

[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1158.

[7] Bambang Nurcahyo Prastowo dari dokumen elektronik www.depkominfo.go.id bagian regulasi undang-undang., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 (Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) tahun 2008.

[8] Lihat QS. Yusuf (12): 23-28, Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Al-Juma>natul ‘Ali<>(Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004), h. 239.

[9] Tidak semua qari<nah dapat dijadikan sebagai alat bukti, melainkan hanya qari<nah yang jelas saja, yang diistilahkan dengan al-qara>’in al wa>d{ihah. Lihat, Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A., Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 166.

[10] Muhammad Sala>m Madku>r, Al Qada>’u fy al Isla>m (Mesir: Da>r an-Nahdah al Arabiyah, tt.), h. 94.

[11] Dr. Anwar Ahmad Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah Pemerintahan Muslim (Cet. I; Yogyakarta: PL2PM, 1987), h. 20.

[12] Ibid., h. 24.

[13] Abdul Azis Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 206.

[14] Ibid., h. 208.

[15] Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Pembuktian, (Cet. I; Jakarta: Pardnya Paramita, 1975), h. 5 dan 13.

[16] Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) (Cet. 33; Jakarta: Pradnya Paraminta, 2003), h. 475.

[17] Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A., Op Cit., h. 188 – 189.

[18] Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio., Loc cit.,

[19] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hal. 793.

[20] Darwan Prints, Hukum Acara Pidana dalam Praktik (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998), hal. 106.

[21] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, ps 184. (b).

[22] Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Lihat Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 3-4.

[23] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, ps. 5 ayat (1) KUHAP.

[24] Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal. 455.

[25] http://www.novexcn.com/contract_law_99.html, diakses pada tanggal 26 April 2009.

[26] Rapin Mudiardjo, S.H., Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan (http://www.iptek.net/sentra informasi iptek/Balai Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Balai IPTEKnet) BPPT , 2006), diakses pada tanggal 26 April 2009.

[27] Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, Op. cit., h. 339.

[28] Rapin Mudiardjo, S.H., Loc cit.,

[29] Rapin Mudiardjo, S.H., Loc cit.,

[30] Bunyi Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 adalah menyangkut Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1). Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2). Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 3). Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : a). tulisan, suara, atau gambar; b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c). huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Lihat, Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, UU No. 15, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

[31] Edmom Makarim, op. cit., hal. 143.

[32] Ibid.,

[33] Bunyi Pasal 16 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

0 komentar:

Posting Komentar

selamat datang