Senin, 15 Juni 2009

Menelusuri Penerapan Alat Bukti di Pengadilan dalam Peradilan Islam (Bukti Iqrar, Bukti Saksi, Bukti Surat [Tulisan], Bukti Sumpah dan Qarinah)

Oleh : Abu Muslim, SH.I

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pembuktian di muka pengadilan merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Oleh karena itu, untuk dapat menyelesaikan suatu perkara yang dibawa ke muka hakim dan supaya keputusan hakim benar- benar mewujudkan keadilan maka hendaklah hakim mengetahui hakikat gugatan/dakwaan dan mengetahui hukum tentang perkara tersebut.[1]

Hakim mengetahui tentang gugatan- gugatan yang dihadapkan kepadanya, baik dengan menyaksikan sendiri apa yang digugat itu, ataupun dengan sampainya berita secara mutawatir kepadanya. Kalau berita yang sampai kepadanya, tidak dengan jalan mutawatir tentu tidak dapat menyakinkannya, hanya dapat menimbulkan persangkaan yang kuat saja.

Oleh karena mengharuskan seseorang memperoleh berita secara mutawatir itu, menimbulkan kesukaran dan dapat menghilangkan banyak hal, maka agama membolehkan hakim menerima keterangan yang dapat menimbulkan persangkaan yang kuat dan dibenarkan hakim menerima keterangan tersebut. Untuk mengetahui tentang gugatan-gugatan yang diajukan itu, cukuplah dengan pengakuan orang yang digugat atau atau keterangan–keterangan dari saksi yang adil, walaupun kemungkinan yang mengajukan perkara tersebut berdusta dan demikian pula dengan saksi-saksinya.

Berdasarkan uraian tersebut, sudah jelas pembuktian adalah hal yang paling urgen dan harus dilakukan demi dan untuk tegaknya serta terpeliharanya keadilan. Teori di balik penyelenggaraan keadilan dalam Islam didasarkan atas prinsip-prinsip yang unik, dan bersumber pada quran serta kedaulatan ummat. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, Khalifah, Kaisar atau Sultan sama sekali bukan merupakan sumber keadilan. Dalam bentuk hubungan antara penguasa di satu pihak dan yang dikuasai di pihak lain, keagungan mereka dan kekuasaan negara dipandang sebagai suatu hubungan yang selaras dan sesuai dengan kebajikan yang tercermin dalam hasil-hasil positif dari tujuan pemerintah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hukum selalu didasarkan pada pemeliharaan agama yang melambangkan peran agama sebagai sintesis atas penegakan keadilan.

Pelaksanaa keadilan yang berlandaskan pembuktian itu sesungguhnya telah terdapat cikal bakalnya pada periode Rasulullah yang pada akhirnya menjelma sebagai tatanan formal hukum pembuktian. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas penelusuran pembuktian dalam Peradilan Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diperlukan penelusuran alat bukti dalam sejarah Peradilan Islam dalam pelaksanaan pembuktian. Untuk mengarahkan pembahasan makalah ini dapat ditarik beberapa sub masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian, tujuan, asas dan urgensi pembuktian?

2. Bagaimana penelusuran penerapan alat bukti di pengadilan dalam sejarah Peradilan Islam?

II. Pembahasan

  1. Pengertian Pembuktian

Pada proses penyelesaian perkara, pembuktian sangat terkait erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk membuktian seseorang terlibat atau tidak, proses pembuktian memegang peranan sangat penting. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.”[2]

Menurut Yahya Harahap, dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantah hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih diperselisihkan di antara pihak-pihak yang berperkara.[3]

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan didalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.[4]

Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpukan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku.

  1. Tujuan Pembuktian

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Karena hakim yang harus memeriksa, mengadili dan kemudian memutuskan perkara, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Karena putusan itu diharuskan objektif, maka pembuktian ini diharuskan bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar.

Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law).[5]

  1. Asas Pembuktian

Asas pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam pasal 1865 BW, pasal 163 HIR, pasal 283 RBG, yang bunyi pasal-pasal itu semakna, yaitu:” Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut”.[6]

Asas pembuktian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: A (penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar hutang kepada A maka kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepada A, sebab saat itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang dari B. selanjutnya,di muka sidang B membantah, menurut B adanya di atas kuitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai hutang kepada A tetapi karena B dipaksa oleh A untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk membuktikan akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang lain atasnya. Mungkin juga B di muka sidang mengatakn bahwa hutang tersebut ada tetapi sudah dibayar, hanya saja tidak memakai tanda pembayaran/ kuitansi dan kuitansi hutang sebelumnya tidak dimintanya kembali dari A, maka dalam hal ini kepada B dibebankan oleh hakim untuk membuktikan peristiwa pembayarannya tersebut.

Gambaran tersebut sudah terlihat bahwa beban pembuktian sesewaktu kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas pembuktian mengatakan demikian. Sebagaimana sabda Nabi saw.

لو يعطى الناس بدعواهم لادّ عى ناس دماء رجال و اموا لهم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر[7]

Artinya:

Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyak orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya.

  1. Urgensi Pembuktian dalam Pemeriksaan Perkara.

Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.

a. Apa Yang Harus Dibuktikan.

Sesuai dengan tujuan pembuktian yaitu untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak-pihak terhadap sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi sengketa. Jadi yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan kejadian yang telah dikonstatir dan dikualifisir. Tentang hukumnya tidak perlu dibuktikan, karena hakimlah yang akan menetapkan hukumnya dan hakim dianggap tahu hukum, oleh karena itu seorang hakim haruslah mempunyai ilmu pengetahuan hukum yang cukup.

Peristiwa- peristiwa yang harus dibuktikan di muka pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian itu merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa. Kalau pembuktian terhadap peristiwa atau kejadian telah diakui oleh tergugat tidak perlu dibuktikan lagi.

2. Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan ruang dan waktu.

3. Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang disengketakan.

4. Peristiwa atau kejadian itu efektif untuk dibuktikan. Maksudnya bahwa sering dalam membuktikan suatu hak terdiri dari rangkaian beberapa peristiwa, maka peristiwa atau kejadian tersebut merupakan salah satu mata rangkaian peristiwa atau kejadian tersebut.

5. peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hokum dan kesusilaan.[8]

b. Siapa yang dibebani beban pembuktian.

Para pihak yang berperkara berwenang dan berkewajiban mengemukakan bukti apabila diminta oleh hakim. Hakim yang akan menetapkan kepada siapa dibebankan pembuktian tersebut. Pihak yang dibebankan wajib bukti akan mengandung resiko bahwa jika tidak berhasil maka pihak tersebut akan dikalahkan.[9]

Lazimnya, penggugat sebagi pihak yang memulai dahulu menggugat, kalau dibantah oleh tergugat maka penggugat harus membuktikan kebenaran gugatannya. Demikian pula jika tergugat di dalam bantahannya mengajukan tuntutan, maka hal itu harus dibuktikan pula.

Jadi beban pembuktian itu bukan terletak pada hakim, melainkan pada masing-masing pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat. Pembuktian tersebut tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan, oleh karena itu hakim haruslah berhati-hati dalam menetapkan beban pembuktian tersebut dengan pembuktian secara seimbang dan patut dan tidak berat sebelah.

Alat Bukti dan Penerapannya di Pengadilan dalam Sejarah Peradilan Islam

Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti.

Dalam kitab-kitab fikih kebanyakan fuqaha menyebut alat bukti dengan al- bayyinah. Pengistilahan ini sesuai dengan hadis Nabi saw. yang telah disebutkan sebelumnya. Adapula yang menyebutkan nya dengan al- hujjah, ad- dalil, al- burhan, tetapi yang tiga terakhir ini tidak lazim dipakai. Alat bukti terdiri beberapa macam. Di antaranya ada yang disepakati oleh mazhab-mazhab dan sebagiannya lagi masih diperselisihkan. Di dalam kitab-kitab hukum Islam (fiqh) kebanyakan para ahli hukum Islam menyebut alat bukti dengan Al-Bayyinah yang berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar).[10]

Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fiqih. Adapun alat bukti yang disepakati oleh ulama fiqih adalah sebagai berikut:[11]

1. Kesaksian (asy-syaha>dah);

2. Ikrar (al-iqra>r), pengakuan dari pihak tergugat bahwa apa yang digugat oleh penggugat adalah benar;

3. Sumpah (al-yami>n);

4. Nuku>l (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam menguatkan haknya;

5. Qari>nah (indikasi yang menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran suatu gugatan);

6. Qasamah (sumpah yang dilakukan berulangkali oleh penggugat dalam kasus pembunuhan atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat di daerah sekitar tejadinya pembunuhan atau tempat kejadian perkara, yang bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka bukan pembunuhnya);

Dalam pada itu, dalam makalah ini hanya akan dibahas beberapa alat bukti yang terpokok atau hujjah-hujjah syar’iyah yang diperlukan dalam soal gugat-menggugat serta yang sering digunakan dalam Peradilan Islam, yaitu:

1) Iqrar (pengakuan)

2) Syahadah (kesaksian)

3) Yami>n (sumpah)

4) Qarinah (persangkaan)

5) Surat

6) Keterangan Ahli

  1. Alat Bukti Pengakuan (Iqra>r)

Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam disebut al iqra>r yang artinya ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar.[12] Dasar pengakuan sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa (4): 135.[13]

Hujjah yang paling kuat adalah pengakuan si tergugat. Untuk memberikan pengakuan, maka hendaklah orang yang memberikan pengakuan itu dalam keadaan berakal, baligh, tidak dipaksa, dan bukan orang di bawah pengampuan (curatele). Oleh karenanya, pengakuan orang-orang dipaksa, anak kecil, orang gila dan sebagainnya, tidaklah dianggap sah.

Walaupun pengakuan ini, dipandang sebagai hujjah yang paling kuat, namun terbatas hanya mengenai diri si yang memberi pengakuan saja, tidak dapat mengenai diri orang lain. Pengakuan dapat dilakukan dengan ucapan lidah, dapat pula dilakukan dengan isyarat oleh orang yang tidak bisa berbicara, asal isyaratnya itu dapat diketahui umum, dan tidak dalam masalah zina dan sepertinya. Menurut hukum asal, apabila si tergugat sudah mengaku, maka hakim dapat memutuskan perkara dengan memenangkan si penggugat tanpa perlu mendengar keterangannya lagi. Dalam pada itu, para fuqaha mengecualikan beberapa masalah. Dalam masalah-masalah itu, masih diperlukan bukti-bukti dari si penggugat walaupun sudah diberikan pengakuan dari si tergugat, untuk menghilangkan kemelaratn-kemelaratan yang timbul pada sesuatu pihak. Umpamanya, apabila seorang waris mendakwa bahwa si mati ada hutang padanya dan dakwaan itu dibenarkan oleh salah seorang waris yang lain. Dalam hal ini, waris pertama, harus memberi bukti walaupun sudah diakui oleh salah seorang waris yang lain, karena haknya mengenai seluruh harta peninggalan.[14]

Dalam sejarah Peradilan Islam penerapan alat bukti iqra>r dapat dilihat sewaktu Rasulullah saw. di dalam masjid, telah dating seorang laki-laki Muslim. Ia berseru kepada Rasulullah. Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah berpaling daripadanya. Orang itu kemudian berputar menghadap Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah, saya telah berzina. Rasulullah berpaling daripadanya hingga orang itu mengulangi yang demikian itu sebanyak empat kali. Tatkala orang itu telah saksikan kesalah dirinya empat persaksian (maksudnya empat kali mengaku), Rasulullah memanggilnya dan bertanya: Apakah anda tidak gila? Orang itu menjawab, tidak. Tanya Rasulullah lagi, apakah anda sudah kawin? Orang itu menjawab, sudah. Maka Rasulullah saw. bersabda: Bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia.[15]

  1. Alat Bukti Kesaksian

Saksi ialah orang memberikan keterangan di muka sidang pengadilan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut,.Kata saksi terampil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksudkan di sini adalah manusia hidup.

Alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan sya>hid (saksi laki-laki) atau sya>hidah (saksi wanita) yang terambil dari kata musya>hadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi dimaksudkan adalah manusia hidup.[16]

Bayyinah dalam fuqaha, sama dengan syahadah (kesaksian). Tetapi Ibn Al-Qayyim memaknakan bayyinah dengan segala yang dapat menjelaskan perkara. Sedang syhadah, ialah: mengemukakan syahadah (kesaksian) untuk menetapkan hak atas diri orang lain.[17]

Dalam pandangan Islam, saksi termaksud hal penting dalam penegakan kebenaran dan keadilan. Karena itu Allah swt.melarang seorang saksi berlaku enggan atau menolak memberi keterangan apabila ia diminta. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 282.[18]

Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang-orang tertentu oleh undang-undang tidak dapat diperkenangkan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak,atau keadaan tartentu. Orang tidak boleh didengar sebagai saksi ialah:[19]

1. Keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah.

2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai.

3. Anak-anak yang tidak diketahui benar usianya cukup 15 tahun.

4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan terang.

Sejalan dengan maksud undang-undang di atas, Nabi saw. telah memperingati agar tidak mengangkat saksi orang penghianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu terhadap tuannya.

Syarat keislaman sebagai syarat umum yang ditetapkan fuqaha. Pada perinsipnya, seorang non-muslim tidak boleh menjadi saksi terhadap orang muslim. Namun dalam situasi tertentu seperti tidak adanya saksi selain non-muslim tersebut, maka menurut Imam Ahmad, itu dapat di terima.

Adapun pendapat sebagai ulama lainnya menyebutkan kesaksian seorang non-muslim terhadap orang Muslim tidak dibolehkan dalam urusan atau perkara yang termaksud hukum keluarga (ahwal asy-syakhshiyah), seperti ditunjuk dalam Q.S. al-Thalaq (65): 2[20], tetapi diperbolehkan kesaksiannya dalam perkara perdata selain dari itu.

Dengan kesaksian yang cukup syarat, nyatalah kebenaran bagi hakim dan wajiblah dia memutuskan perkara sesuai dengan kesaksian itu. Para fuqaha telah menerangkan syarat-syarat yang wajib sempurna pada kesaksian supaya kesaksian itu harus diterima dan mesti dipergunakan. Demikian pula mereka talah menerangkan tentang orang-orang yang diterima kesaksiannya dan orang-orang yang ditolak kesaksiannya, tentang hukum berbeda kesaksian dari gugatan, tentang perbedaan para saksi satu sama lain, hukum mencabut kesaksian, menyuruh saksi bersumpah dan hal-hal yang diterima kesaksiannya dengan cara mendengar. Demikian pula hukum bertentangan antara satu saksi dengan lain yang diajukan oleh dua orang penggugat yang masing-masingnya mengemukakan saksi.

Fiqh Islam, menurut pendapat yang dipegang oleh jumhur fuqaha, menerima baiyyinah syakhshiyah, atau syahadah dalam segala macam keadaan. Akan tetapi dengan ada ketentuan-ketentuan dan ada batas-batasnya, berdasarkan perbedaan mazhab dan perkara yang dihadapi. Para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini diperlukan bilangan. Karena hal ini merupakan satu urusan ibadah. Walaupun sebenarnya menurut logika, kebenaran itu berdasar kepada keadilan dan kejujuran yang memberikan kesaksiannya, bukan kepada bilangan.[21] Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Nisa (4): 15.[22]

  1. Alat Bukti Sumpah

Sumpah menurut bahasa hukum Islam disebut al yami>n atau al h}ilf tetapi kata al yamilebih umum dipakai.[23]

Menurut hadis Rasulullah sebagaimana sudah diungkapkan pada Asas pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pihak yang menuntut hak dibebankan untuk membuktikan sedangkan pembuktian pengingkaran (negatife) dari pihak yang dituntut adalah dengan sumpah. Ini menunjukkan bahwa hukum asal sumpah itu adalah hak dari pihak yang digugat/dituntut. [24]

Alat bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri, artinya hakim tidak bisa memutus hanya semata-mata berdasarkan pada sumpah tanpa disertai oleh alat bukti lainnya.

Sumpah sebagai suatu jalan untuk menetapkan hukum, adalah jalan yang sudah paling tua di dunia ini. Sumpah ini memperingatkan yang bersumpah kepada Allah yang menyuruhnya berlaku benar dan berjalan lempang. Maka pada asalnya sumpah itu merupakan hujjah yang kuat, karena orang yang bersumpah mengingta dosa-dosa yang akan dipikulnya nanti. Tetapi di dalam pengalaman sehari-hari, nyata bahwa sumpah, adalah suatu hujjah yang lemah. Hanya dipergunakan di waktu tidak sanggup membuktikannya. Orang-orang yang diminta bersumpah sering-sering dengan serta merta memenuhi permintaan itu.[25]

Di dalam Al Majallatul Adliyah diterangkan, bahwa tidak dapat seorang disuruh bersumpah, terkecuali dengan permintaan pihak lawan berperkara. Akan tetapi hakim dapat menyuruh bersumpah salah satu pihak, tanpa diminta oleh yang bersangkutan pada beberapa kondisi antara lain:[26]

a. Apabila seorang waris mengatakan, bahwa dia masih mempunyai hak dalam harta peninggalan si mati dan dia membuktikan kebenaran pendakwaannya, maka hakim boleh menyuruh dia bersumpah untuk membuktikan bahwa dia belum menerima bagiannya.

b. Apabila sorang berhak menerima sejumlah harta dan dia membuktikan kebenaran pendakwaannya, maka hakim boleh menyuruhnya bersumpah untuk membuktikan bahwa dia tidak menjual harta itu, tidak menghibahkan kepada seseorang dan belum keluar dari miliknya.

c. Apabila si pembeli mau mengembalikan barang dagangan yang dibeli lantaran ada cacat, maka hakim boleh menyuruhnya bersumpah, bahwa dia tidak menyukai cacat itu, baik secara tegas maupun secara dalalah.

Alat bukti sumpah ini dapat dilihat pada kisah ketika Nabi saw. pernah menanyakan kepada seorang penggugat: Apakah anda mempunyai saksi? Orang itu menjawab: tidak. Maka Nabi mengatakan kepada si tergugat supaya bersumpah. Si penggugat berkata: tentu saja dia mau bersumpah. Mendengar itu Nabi pun bersabda: “Tak ada bagi anda selain daripada ini, saksi pihakmu atau sumpah si tergugat”.[27]

  1. Alat Bukti Qari>nah (persangkaan)

Alat bukti persangkaan yang dalam hukum acara peradilan Islam disebut al-qara>in. Qari>nah menurut bahasa artinya hubungan atau pertalian. Qari>nah yang dimaksudkan di sini sebagaimana menurut istilah hukum ialah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk. Hanya qari>nah yang jelas saja (al qara>’in al wa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti. Dalam lingkungan Peradilan Umum pidana alat bukti ini disebut “petunjuk-petunjuk”.

Islam memandang qari>nah atau persangkaan sebagai salah satu alat bukti. Rasulullah saw. sering menggunakan qarinah sebagai dasar putusannya, sebagaimana beliau pernah menahan dan menghukum tertuduh setelah timbul persangkaan karena nampak tanda-tanda mencurigakan pada diri tertuduh. Begitu pula Nabi saw. pernah memerintahkan orang yang menemukan suatu barang agar menyerahkan barang temuannya itu kepada orang yang ternyata tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang. Demikian pula beberpa contoh qari>nah dapat ditemukan dalam Alquran misalnya:

a. Kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf (12): 23-28.

Ketika Qitfir, suami Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf untuk berbuat mesum tetapi Nabi Yusuf tidak mau, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju pintu untuk keluar dari rumah. Tiba di pintu, baju Nabi Yusuf ditarikkan oleh Zulaikha dari belakang sehingga koyak, dan tepat waktu itu suaminya tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu kepada suaminya bahwa Nabi Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat mesum. Pada saat yang kritis itu, bersuara (berkatalah) seorang bayi (yang masih dalam buaian) dari keluarga Zulaikha: “Jika baju Yusuf koyak di bagian depan berarti Yusuflah yang salah, tetapi jika koyak di bagian belakang berarti Yusuflah yang benar”. Lantas suami Zulaikha melihat kepada baju Yusuf, ternyata koyak di bagian belakang, berarti Yusuflah yang benar. Lalu Yusuf disuruh rahasiakan hal itu ke luar (karena malu) dan Zulaikha disuruh oleh suaminya untuk bertobat dan meminta ampun kepada Allah.[28]

b. Cerita di zaman Nabi Sulaiman dan Nabi Daud. Ada dua orang perempuan yang bersengketa memperebutkan seorfang anak, perempuan yang satunya agak muda dan yang satunya lagi agak tua. Nabi Daud mengadilinya dengan memenangkan perempuan tua berdasarkan pengakuannya. Nabi Sulaiman yang turut hadir di majelis pengadilan itu minta sebilah pedang dan berpura-pura bertindak akan membelah dua anak tersebut sambil berkata, itulah yang adil. Perempuan yang tua menyetujui tetapi perempuan yang muda sambil bersembah ia mengatakan bahwa ia rela anak itu diserahkan kepada perempuan yang tua asal tidak dibelah dua, sebab anak itu akan mati. Nabi Sulaiman memutuskan anak itu adalah anak dari perempuan yang muda tersebut.[29]

c. Nabi Muhammad saw. pernah pula menggunakan qarinah itu dalam beberapa hal, diantanya memberikan hilang yang diketemukan kepada orang yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari barangnya itu.[30]

d. Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum had seorang perempuan hamil padahal ia tidak bersuami dan bukan pula hamba sahaya (yang boleh dicampuri oleh Tuannya).[31]

e. Amr bin Mas’ud menjatuhkan hukum had kepada seorang yang dari mulutnya keluar bau bekas minum khamar.[32]

Menurut Roihan A. Rasyid, kriteria al qara>’in al wa>dihah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti memiliki kriteria sebagai berikut:[33]

a. Qari>nah yang karena demikian jelas dan meyakinkan tidak akan patut dibantah lagi oleh manusia normal/berakal, dapat dikategorikan sebagai al qara>’in al wa>dihah dan dapat dijadikan dasar pemutus walaupun hanya atas satu qari>nah wa>d}ih}ah, tanpa didukung oleh bukti lainnya.

b. Semua persangkaan menurut undang-undang di lingkungan Peradilan Umum, sepanjang tidak jelas-jelas bertentangan dengan dengan hukum Islam, dapat dianggap qari>nah wa>d}ih}ah.

c. Qari>nah lain-lainnya tidak termasuk qari>nah wa>d}ih}ah dan tidak termasuk alat bukti.

  1. Alat Bukti Surat

Alat bukti surat atau tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Rasulullah saw. mengangkat beberapa penulis wahyu untuk menuliskan wahyu-wahyu yang turun kepada beliau. Rasulullah juga menyuruh sahabatnya menuliskan beberapa peristiwa penting lainnya, seperti perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Makkah. begitu pula Al-Qur’an telah memerintahkan orang beriman untuk menuliskan transaksi yang terjadi di antara manusia, sebagaimana termuat dalam Q.S. Al-Baqarah (2); 282.[34]

Ringkasnnya, Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di antara manusia. Karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti. Dalam sejarah Peradilan Islam dapat ditelusuri bentuk alat bukti surat dalam hal ini dalam hal wasiat pada kisah Saad bin Abi Waqqas ketika mengadu kepada Rasulullah saw. Saad berkata: Ya Rasulullah, saya mempunyai harta dan saya tidak ada ahli waris melainkan hanya seorang anak perempuan. Apakah boleh saya bersedekah (maksudnya berwasiat) dua pertiga harta saya? Rasulullah bersabda: Tidak. Dan kemudian Saad bertanya lagi, bolehkah saya berwasiat sepertiganya? Rasulullah menjawab: boleh sepertiga tetapi itupun sudah terlalu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan papa, meminta ke sana ke mari sesama manusia.[35]

  1. Alat Bukti Keterangan Ahli

Bantuan dari orang ketiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk memperoleh kejelasan objektif bagi hakim atas suatu peristiwa yang dipersengketakan dalam suatu perkara, disebut “keterangan ahli” atau ada juga yang menyebutnya dengan “saksi ahli”.

Jika hakim menggunakan saksi ahli dalam pengusutan masalah persidangan dan kemudian hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut, maka pendapat ahli itu diambil oper oleh hakim dan dianggap sebagai pendapatnya sendiri untuk dapat dijadikan dasar pemutus.[36]

Dalam sejarah Peradilan Islam tepatnya di masa Khalifah Umat ibn Khattab, penggunaan alat bukti keterangan ahli pernah dilakukan dalam sebuah perkara pemfitnahan yang diajukan ke depan sidang pengadilan Khalifah oleh Zibriqan bin Bard terhadap seorang penyair Hutaya, yang menuduh bahwa salah satu syairnya yang diciptakan oleh penyair itu merupakan sebuah fitnah. Karena tuduhan tentang pemfitnahan itu berkaitan dengan syair, maka Khalifah mengundang penyair lain dan meminta pendapatnya tentang masalah itu, dan kemudian ia memutuskan kasus menurut pendapat ahli tersebut.[37]

III. Penutup

A. Kesimpulan

1. Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan.

2. Tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

3. Beban pembuktian sesewaktu kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas pembuktian mengatakan bahwa Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut. Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.

4. Alat bukti yang terpokok atau hujjah-hujjah syar’iyah yang diperlukan dalam soal gugat-menggugat serta yang sering digunakan dalam Peradilan Islam, yaitu: Iqrar (pengakuan), Syahadah (kesaksian), Yami>n (sumpah), Qari>nah (persangkaan), Surat dan Keterangan Ahli.

B. Implikasi

Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti. Maka dari itu, mengerti lebih baik tentang pembuktian beserta alat-alat bukti yang ada dengan pendalaman pendekatan sejarah Peradilan Islam akan membawa kita pada pemahaman hukum yang objektif.


Daftar Pustaka

A. Rasyid, Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Dahlan, Abdul Azis [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Al-Juma>natul ‘Ali<>Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004.

Hasbi Ash- Shiddieqy, Tengku HM. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Madku>r, Muhammad Sal<<m. Al Qada>’u fy al Isla>m. Mesir: Da>r an Nahd{ah al Arabiyah, tt.

Mannan, Abdul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2006.

Pangaribuan, Luhut MP. Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat. Jakarta: Djambatan, 2005.

Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Qadri, Anwar Ahmad. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah Pemerintahan Muslim. Cet. I; Yogyakarta: PL2PM, 1987.

As Shan’any, Subul as- salam Jilid. IV. Bandung; Dahlan, t.t.

Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975.

Subekti, R. dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek). Jakarta: Pradnya Paraminta, 2003.

Sultan, Lomba dan Talli, Halim. Peradilan Islam dalam Lintasan Sejarah. Makassar, 2001.

As Suyu>ty, Jala>l ad Di>n. Muwatta’ Ima>m Ma>lik jilid II. Mesir: Mustafa> Al Ba>by al H{alaby, 1951.



[1]Tengku HM. Hasbi Ash- Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 127.

[2] Darwan Prints, Hukum Acara Pidana dalam Praktik (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998), hal. 106.

[3] Yahya Harahap dalam Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet.IV; Jakarta: Kencana, 2006), h. 227.

[4] R. Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), h. 5.

[5] Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Lihat Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 3-4.

[6] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) (Cet. 33; Jakarta: Pradnya Paraminta, 2003), h. 475.

[7] As Shan’any, Subul as- salam (Jilid. IV; Bandung; Dahlan, t.t), h. 132.

[8]Abdul Mannan, op. cit., h. 229-330.

[9]Ibid.,

[10] Abdul Azis Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 206.

[11] Ibid., h. 208.

[12] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 170.

[13] Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

[14] Tengku HM. Hasbi Ash- Shiddieqy, op. cit., h. 136-138

[15] As San’any, op, cit., h. 6.

[16] Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 152.

[17] Tengku HM. Hasbi Ash- Shiddieqy, op. cit., h. 139.

[18] …Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (member keterangan) apabila mereka dipanggil…

[19] Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Sejarah (Makassar, 2001), h. 105.

[20] Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

[21] Ibid., h. 140.

[22] Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.

[23] Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 179.

[24] Lihat kembali Asas pembuktian yang telah ditelah diterangkan sebelumnya.

[25] Tengku HM. Hasbi Ash- Shiddieqy, op. cit., h. 154.

[26] Ibid., h. 155 - 156.

[27] Ibid., h. 150. Lihat juga HR. Bukhari, Vide: Al ‘Aini XIII: 243 – 248.

[28] Lihat QS. Yusuf (12): 23-28, Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Al-Juma>natul ‘Ali<>(Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004), h. 239.

[30] Ibid

[31] Jala>l ad Di>n as Suyu>ty, Muwatta’ Ima>m Ma>lik jilid II (Mesir: Mustafa> Al Ba>by al H{alaby, 1951), h.168.

[32] Muhammad Sala>m Madku>r., loc. cit.

[33] Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 169.

[34] Q.S.al-Baqarah (2); 282: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentakan, hendaknnya kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis , danhendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan(apa yang akan di tulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya….

[35] As San’any, op. cit., h. 104-105.

[36] Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 190.

[37] Anwar Ahmad Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah Pemerintahan Muslim (Cet. I; Yogyakarta: PL2PM, 1987), h. 20.

0 komentar:

Posting Komentar

selamat datang